"every man who desires to attain total freedom must be bold enough to put an end to his life". (Kirilov, Dostoeysky)
et virtue
aku ingin hidup seribu tahun lagi
Sabtu, 02 April 2011
Jumat, 01 April 2011
Tragedi Yunani Kuno: Persona dan Topeng
Berasal dari idealisme topeng dalam permainan teater. Persona? Konsep yang merupakan suatu pelarian dari kekangan filsafat Yunani Kuno. Persona terkait erat dengan pemahaman kosmologis Yunani Kuno yang memandang kosmos sebagai suatu realitas yang indah, cantik, dan segala sesuatu diatur dalam hukum kosmos ini. allah atau dewa-dewi sekalipun diatur dalam tatanan ini sehingga, dewa-dewi sekalipun tidak bebas dari keteraturan mutlak ini. Keteraturan ini menuntut ketaatan moral karena hukum mengatur demikian agar kosmos tetap teratur. Lantas apa pelariannya? teater.
Dalam teater, pemain teater menggunakan topeng yang kemudian bisa bereskpresi secara bebas, mengungkapkan pemberontakan, kebebasan, tanpa takut akan dosa atau hukuman dari dewa-dewi. Topeng dalam teater adalah pemberontakan, sebab yang memberontak bukanlah pribadi pemain, tetapi pribadi yang ia lakonkan dalam pementasan itu. Tentu saja "suara kebebasan" itu bukan hanya dinikamati oleh pemeran teater yang memakai topeng itu tetapi juga pendengar dan penonton. Mereka semua pada moment itu untuk sejenak menikmati yang namanya "suara kebebasan", suatu suara yang mengungkapkan keinginan banyak orang yang dalam situasi normal tidak sanggup untuk diungkapkan. Pada saat itu semua orang berpikir keluar dari pemikiran yang umum, sebab mereka diajak untuk memikirkan sesuatu yang di luar tatanan ssehari-hari.
Mungkin ini juga yang menginspirasi banyak orang untuk melakukan protes lewat sastra, lewat teater, lewat puisi dan lagu, karena dengan demikian bisa belindung di bawah alibi suatu karya sastra. Karya sastra yang menyampaikan pesan, termasuk pesan pemberontkan dari situasi yang menindas.
Namun, bagaimana mungkin sesuatu yang diperankan itu, suatu idealisme baru yang dipentaskan itu bisa menjadi kenyataan? Di sini lah pemahaman baru persona yang dari topeng, dari suatu yang aksidental menjadi suatu yang substantif. Dari topeng, suatu yang bisa dilepaskan pasca pementasan menjadi sesuatu yang dihidupi, suatu yang menjadi satu dengan jiwa dan raga. Pemahaman persona dan kebebasannya seabagai suatu yang subsatantif dan konstitutif itulah sumbangsi pemikiran patristik. Sebab, pemikiran Yunani Kuno, dari Plato ataupun Aristoteles tidak pernah bisa mengangakat gagasan persona dan kebebasannya seperti yang kita alami saat ini. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan menjelasakan hidup yang kekal, hidup yang terus berlangsung. Baginya mereka, persona hanya melekat pada manusia selagi ia hidup, kematian membuyarkan semuanya.
Label:
kosmos,
persona,
personhood,
topeng,
yunani kuno
Rabu, 30 Maret 2011
Lahirnya Pancasila
Indonesia harus merdeka sekarang. Pemikiran yang njelimet dan membicarakan hal-hal kecil untuk kemerdekaan menghalangi proses kemerdekaan. Kemardekaan: jembatan emas, di seberang jembatan emas itu baru akan disempurnakan segala persoalan masyarakat itu. Jangan gentar untuk merdeka sekarang, dan apaka kita berani mardeka atau tidak? Bukan mardeka dalam hati (Tuan Soetardjo), dalam Indonesia yang mardeka, kita memardekaan hatinya. Di dalam Indonesia merdeka itu kita menyehatkan rakyat kita dan menyempurnakan segala sesuatunya. Indonesia sudah memenuhi syarat internasional untuk merdeka yaitu bumi(tanah), rakyat, dan pemerinta.
Sebuah kemerdekaan membutuhkan dasar yang menjadi fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi (Landasan philosofis/ “Weltanschauung”)
Pancasila-trisila-ekasila sebagai fondamen Kemerdekaan
- Kebangsaan Indonesia
Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia. Mendirikan Negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat suatu golongan, indonesia yang bulat bukan jawa saja, atau maluku saja, tetapi bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolotik yang ditentukan oleh Allah STW tinggal dalam kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Sumatra-Irian, menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudra, itulah tanah air kita. Seluruhnya !
- Internasionalisme-atau perikemanusiaan
Prinsip kemanusiaan ini ada bahayanya, yaitu orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”. Padahal tanah air kita hanya satu bagian kecil saja dari dunia. Janganlah berpaham kebangsaan sempit tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan dunia. Namun internasionalisme bukan berarti kosmopolitanisme. Internasionalisme tidak akan berkembang subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Persaudaraan dunia, menuju persatuaan dunia, kekeluargaan bangsa-bangsa. Mengutip Gandhi: “My nationalisme is humanity”
- Mufakat-atau demokrasi
Negara buat “semua”. Prinsip mufakat-perwakilan, menjadi cara kita memperbaiki segala hal dengan jalan permusyawarahan di dalam perwakilan rakyat. Apa yang belum memuaskan, kita bicrakan kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya saudara-saudara Kristen ingin tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk dalam perwakilan Indonesia adalah kristen.
- kesejateraan social
Janganlah saudara kira, bahwa kalau badan perwakilan rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kalau kita menccari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ekonomische demoratie, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat ingin sejahrera, tidak akan ada kemiskinan, hidup dalam kesejahteraan, dan merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup sandang, pangan dan papan. Bukan kaum capital yang merajalela tetapi di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan yang sebaik-baiknya.
- ketuhanan
Prinsip yang ke lima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Bukan saja bansa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara berkeadaban, yaitu hormat menghormati satu sama lain.
Indonesia yang Tulen
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong.
“Gotong royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”. Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tapi gotong royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan anggota terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebaghagiaan semua. Gotong royong antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang islam dan yang kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Label:
gotong-royong,
indonesia,
pancasila,
soekarno
Selasa, 29 Maret 2011
Manusia dan Keterasiangan dalam Pandangan Marx
Pengantar: Hegel, Feuerbach dan Marx
Gagasan Marx tentang manusia sangat dipengaruhi oleh Hegel dan Feuebach. Ide keterasingan manusia (alienasi) pertama kali dikemukakan oleh Hegel, yang lantas ditanggapi oleh Feuerbach dan kemudian oleh Marx. Bagi Hegel alienasi manusia dalam agama. Hubungan antara Allah dan manusia berupa relasi tuan dan budak. Allah adalah tuan, sedangkan manusia adalah budak yang melaksanakan perintah-Nya. Hubungan macam ini adalah sebuah alienasi.[1] Untuk itu, bagi Hegel, manusia untuk menjadi diri sendiri, manusia harus menjadid objek bagi dirinya sendiri. Jadi ia harus mengobjektifkan diri dengan memproyeksikan diri keluar dari dirinya sendiri supaya dapat menghadap dan melihat hakikatnya. Feuerbach kemudian mengkritik padangan Hegel ini dengan mengatakan bahwa manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia. Agama sekaligus menjadi tanda keterasingan manusia dari dirinya sendiri, karena ia memproyeksi dirinya dalam Allah. Marx yang kemudia bertanya lebih jauh: “mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama?” Feuerbach sendiri sebenanya sudah menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa penderitaan manusia adalah tempat kehadiran Allah.
Sayangnya ia tidak mengembangkan gagasan ini. Marx kemudian yang mengembangkan gagasan ini dengan mengatakan bahwa keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam yakni dari dirinya sendiri dan masyarakat. Maka Marx kemudian mengatakan bahwa kritik agama harus menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja percuma karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Bukan agama yang harus dikritik, melainkan masyarakat.[2] Di sini kita melihat Marx menemukan ktitiknya yang sebenarnya, masyarakat.
Sayangnya ia tidak mengembangkan gagasan ini. Marx kemudian yang mengembangkan gagasan ini dengan mengatakan bahwa keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam yakni dari dirinya sendiri dan masyarakat. Maka Marx kemudian mengatakan bahwa kritik agama harus menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja percuma karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Bukan agama yang harus dikritik, melainkan masyarakat.[2] Di sini kita melihat Marx menemukan ktitiknya yang sebenarnya, masyarakat.
Kritik masyarakat Marx berangakat dari gagasan Feuerbach (dan juga Hegel) tentang alienasi. Oleh karena itu memahami gagasan Marx tentang manusia dan alienasi adalah sesuatu yang sentral. Tulisan ini akan mencoba mengangkat gagasan manusia dan alienasinya dalam pekerjaan. Gagasan tentang alieansi manusia dalam pekerjaan, dapat ditemukan dalam tulisan Marx muda Economic and Philosophycal Manuscripts.[3]
Manusia dan Aktualisasi Diri
Marx pada dasarnya setuju dengan kritik agama Feuerbach bahwa manusia mengasingkan diri dalam agama. Kelemahan yang dilihat Marx dalam gagasan Feuerbach adalah bahwa ia memahami manusia masih secara abstrak. Sehingga bagi Marx persoalan alienasi itu bisa dijawab kalau memahami manusia secara kongkret dalam masyarakat dan zaman tertentu. Sehingga bisa dikatakan bahwa kondisi masyarakatlah yang membuat manusia mengalienasi dirinya dalam agama.
Marx juga setuju dengan Hegel yang mengatkan bahwa manusia mengaktualisasikan dirinya dalam kerja. Bagi Marx melalui kerja, manusia mewujudkan dirinya dan mengenal dirinya. Lewat kerja manusia menyatakan dirinya, menyatakan kebebasannya dalam relasi dengan alam.[4] Marx sedang menunjuk pada perbedaan antara binatang dan manusia: “Binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya…..manusia membuat kegiatan hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya…. Memang, binatang juga berproduksi. Ia membangun sarang…. Tetapi binatang hanya memproduksikan apa yang dibutuhkan langsung bagi dirinya atau keturunannya, sedangkan manusia berproduksi secara universal….., bebas dari kebutuhan fisik….. Manusia berhadapan bebas dengan produknya….. manusia berproduksi menurut keindahan”.[5] Marx mau menegaskan perbedaan manusia dan binatang di mana manusia bekerja secara bebas dan universal, sementara binatang bekerja menurut naluri dan kebutuhannya.
Lebih lanjut makna pekerjaan juga terkait dengan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak mungkin menghasilkan sendiri semua kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia membutuhkan hasil pekerjaan orang lain, begitu pula sebaliknya. Di sini sekaligus kelihatan dimensi historis pekerjaan karena kita hidp di dunia yang merupakan hasil kerja generasi manusia sebelumnya.
Alienasi Manusia
Kalau pekerjaan adalah bentuk aktualisasi diri manusia seharusnya, pekerjaan itu menyenangkan, menggembirakan. Namun kenyataan sebaliknya. Khususnya bagi buruh industri kapitalis, pekerjaan tidak merealisasikan hakekat manusia tetapi justru mengasingkannya.
Dalam Economic and Philosophycal Manuscripts, Marx menulis
We start with a contemporary fact of political economi:[6]
Dengan pernyataan ini, Marx mau menegaskan bahwa ia bergerak dari fakta empiris. Analisinya berdasarkan situasi faktual. Lebih lanjut dalam paragraph yang sama ia menulis:
Pekerja menjadi semakin miskin yang lebih kaya adalah produksinya. Yang lebih meningkat dalam kekuatan dan cakupan. Perkerja menjadi suatu komoditi yang adalah semuanya lebih miskin dari komoditi yang dia ciptakan. Penyusutan kemajuan dunia manusia…peningkatan dalam nilai hal-hal dunia. Pekerja tidak hanya memproduksi komoditi-komoditi; ia memproduksi dirinya sendiri dan pekerja menjadi komoditi..
Ada dua hal menarik dari kutipan ini yakni: kondisi produksi dan kekuatan produksi. Dua hal ini saling mempengaruhi. Dengan menghadirkan kondisi produksi Marx mengalanisis dengan cermat hasil kerja buruh. Hasil kerja buruh adalah bentuk perealisasian dirinya, menyadari dirinya ( istilah yang dipakai Hegel juga). Dalam kenyataan Marx menulis dalam kutipan di atas pekerja bukan hanya memproduksi komoditi tetapi juga dirinya sendiri (pekerja) adalah komoditi. Dengan nada serupa Marx mengatkan What the product of his labour is, that he is not. So the greater this product the less he is himself.[7]
Marx kemudian dengan jelas menunjuk bahwa setan yang melekat dalam material basis itu adalah pembagian kerja. Pembagian kerja mencuri kesempatan pekerja untuk menyadari dan mengalami dirinya sebagai manusia karena pekerja harus meninggalakan kesempatan untuk mengungkapkan dirinya dalam kebebasan. Itulah yang disebut keterasingan diri pekerja.
Bagi Marx keterasingan dari dirinya (pekerja) sendiri mencakup tiga segi. Pertama, terasing dari produknya, kedua, terasing dari tindakan produksi, ketiga, keterasingan karena memperalat dirinya. Keterasingan dari produknya terjadi karena pekerja tidak memiliki hasil pekerjaannya. Hasil pekerjaannya adalah milik pabrik. Sehingga tindakan kerja itu sendiri menjadi kehilangan arti bagi diri pekerja itu sendiri, karena ia bekerja dengan terpakasa. Di sini letak keterasingan dari apa yang ia hasilkan itu sendiri atau keterasingan dari tindakan produksi. Pekerja juga bekerja bukan untuk kebutuhanya tetapi semata-mata untuk nafkah, untuk mempertahankan hidup. Dengan ini ia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya tetapi sebaliknya menjadikan dirinya alat.
Konsekuensi langsung dari ketiga keterasingan di atas adalah keterasingan kepada orang lain. Secara empiris keterasingan dari sesama menyatakan dua kepentingan yang bertentangan. Pertama, dalam system hak milik pribadi di mana mereka yang bekerja berada di bawah kekuasaan para pemilik yang tidak bekerja, masyarakat terpecah dalam kelas-kelas para pemilik. Dua kelas ini secara emperis bertentangan karena kepentingan mereka secara objektif saling bertentangan. Si pemilik mengusahakan keuntungan yang setinggi-tingginya sementara para pekerja menginginkan upah setinggi-tingginya.
Kepentingan dalam kelas masing-masing seperti di atas merusak hubungan di dalam masing-masing kelas. Buruh berebut kesempatan kerja sementara pemilik mmodal berebut pasar. Marx memperlihatkan bahwa dalam masyarakat yang berdasarkan hak milik pribadi: hubungan antar manusia besifat saingan: keuntungan yang merupakan kerugian yang lain.[8]
Setelah melihat keterasingan pekerja, muncul pertanyaan bagaimana situasi keterasingan itu bisa diakhiri, supaya manusia kembali menjadi tidak terasing. Keterasingan manusia dalam pekerjaan disebabkan oleh manusia, khususnya buruh, bekerja demi upah bukan demi pekerjaan itu sendiri sebagai sarana pengembangan diri, ia bekerja karena terpaksa. Supaya dapat hidup ia harus bekerja karena ia membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhannya. Demi upah buruh memperalat dirinya, dan mengkianati hakikat dirinya sehingga ia menajdi terasing dari dirinya. Dalam system macam ini, kesempatan kerja sangat tergantung pada majikann sehingga para pekerja perlu mengkontrakan diri kepada majikan. Sehingga majikan dapat hidup dari penghisapan tenaga buruh sementara buruh harus memperalat diri dan menajadi hamba majikan.
Di sini nampak bahwa majikan dan buruh sebenanya sama-sama terasing dari pekerjaan. Buruh seperti yang sudah kita leihat terasing karena tidak bisa mengembangkan kerja itu sebagai media pengembangan diri. Sementara itu majikan juga terasing dari pekerjaan karena ia juga tidak bekerja tetapi pasif menikmati hasil kerja orang lain. Dengan demikian disimpulkan bahwa hak milik pribadi mengasingkan majikan maupun pekerja dari dirinya sendiri. Sehingga penataan hak milik pribadi menjadi sangat vital di sini.
Bagi Marx, hak milik pribadi bukan suatu kebetulan tetapi hasil sebuah proses yang tak terelakan, proses pembagian kerja. Pembagian kerja perlu untuk meningkatkan efisiensi kelompok dalam melindungi diri dan menjamin kebutuhan-kebutuhannya. Dahulu kala orang hidup dalam kelompok-kelompok tetapi segera mereka menyadari bahwa pembagian kerja membuat pekerjaann itu menjadi lebih efisien. Dengan pembagian kerja dan lantas pemisahan antara kerja yang rohani dan jasmani, terjadi perisahan umat manusia dalam kelas-kelas pekerja yang hidup dari pekerjaan jasmani orang lain.
Maka Marx membedakan tiga tahap umat manusia. Pertama, masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai, kedua-tahap yang sedang berlangsung-tahap pembagian kerja sekaligus tahap hak milik pribadi dan tahap keterasingan. Dan tahap ketiga, tahap kebebasan, yaitu apabila hak milik pribadi sudah dihapus. Jadi system pembagian kerja bukan sebuah kegagalan tetapi sebuah tahap yang tak terelakan menuju ke tahap berikutnya atau sebagai persiapan perjalanan umat menusia menuju tahap kebebasan, sehingga tahap itu harus dilalui umat manusia.
Dapat dikatakan bahwa hak milik pribadi tidak dapat dihapus karena semata-mata dianggap menghasilkan keterasingan. Hak milik pribadi adalah akibat keniscayaan sejarah dan hanya bisa dihapus sebagai konsekuensi dinamika keniscayaan sejarah selanjutnya. System hak milik pribadi berdasarkan syarat-syarat objektif dan oleh kareba itu baru bisa dihapus apabila kondisi-kondisi objektif itu sudah bisa terpenuhi. Apabila itu terjadi maka, prasejarah umat manusia akan berakhir dan manusia akhirnya akan mampu merealisasikan dirinya secara bebasa dan universal. Kekayaan yang telah diciptakan manusia dalam keterasingan akan menjadi hak milik seluruh umat manusia. Keterasiagan manusia dengan alam maupun dengan manusia lain akan berakhir. Keadaan macam ini yang oleh Marx disebut “komunisme”.
Komunisme adalah penghapusan positif milik pribadi sebagai keterasingan dari manusia (positif karena apa yang telah diciptakan dalam keterasingan tidak ditiadakan melainkan dimiliki bersama), dank arena itu pemilikan nyata hakikat manusia oleh dan bagi manusia. Komunisme itu adalah naturalism utuh, atau sebagai humanisme utuh.
Kesimpulan dan Tanggapan
Gagasan keterasingan manusia Marx tidak lepas dari Hegel dan Feuerbach. Marx sejalan dengan Hegel yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah bekerja. Dengan bekerja manusia mampu mengaktualisasikan dirinya. Namun ia juga menkritik filsafat Hegel yang baginya terlalu abstrak dan tidak mendarat di bumi sesuai dengan kenyataan. Lebih lanjut Marx juga dipengaruhi oleh Feuerbach yang mengatakan manusia teralienasi karena ia memproyeksikan dirinya dalam agama. Namun ia tidak menjawab pertanyaan mengapa manusia memproyeksikan diri dalam agama dan Marx menjawab hal itu.
Bagi Marx keterasingan itu terjadi karena situasi masyarakat. Maka bukan lagi agama yang harus dikritik tetapi masyarakat jika ingin mengubah dan berbuat sesuatu. Marx mencoba menggalinya dalam situasi faktual dan ia menemukan bahwa manusia sekarang berada dalam tahap keterasingan karena pembagian kerja. Oleh karena itu perlu menciptakan kembali situasi asali manusia (komunisme) sehingga melalui kerjanya ia dapat mengaktualisasikan dirinya secara bebas dan universal.
Saya ingin menanggapi dua hal dari gagasan pemikiran Marx. Pertama terkait dengan gagasan aktualsasi manusia lewat kerja dan kedua, lebih melihat perkembangan tindakan aktuasasi manusia dalam perwujudan gagasan Marx. Marx mengikuti Hegel mengatakan manusia mengaktualisasikan dirinya lewat kerja. Gagasan macam ini menyangkut dua hal pertama, tentu saja manusia lewat banyak cara dapat mengaktualsasikan diri misalnya lewat karya seni, musik, dan kegiatan lainnya. Tidak hanya kerja yang bisa menjadi sarana pengaktualisasian diri manusia. Kedua, bahwa kerja itu sendiri sejak awal mula memang merupakan tindakan manusia, tetapi tujuannya pertama-tama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan untuk mengaktualisasikan diri. Pada zaman berburu dan meramu, manusia bukankah harus berbburuh dan mencari hasil hutan untuk memenuhi kebutuhannya? Jadi kerja, hemat saya pertama-tama adalah pemenuhan kebutuhan hidup bukan pengaktualisasian diri. Pengaktualsisaian diri hanya munkin kalau kebutuhan badani manusia terpenuhi.
Menyangkut perkembangan gagasan manusia dalam usaha perwujudan gagasan Marx, hemat saya para pemikir Marx melupakan aspek ini: bahwa manusia mengaktualisasikan diri dalam kerja. Tujuan Marx mengkritik pembagian kerja tentu saja untuk menciptakan keadaan alamiah yang memungkinkan manusia mengaktualisasikan dirinya. Hemat saya para penerus gagasan Marx cendrung pincang dengan bergerak murni di tataran mengubah struktur masyarakat dan lupa untuk mengangkat kembali tujuan Marx mengkritik semua itu yakni pengaktualisasian diri. Kita temukan misalanya dalam sejarah Uni Soviet yang berusaha menerapkan ajaran Marx, tema aktualisasian diri tidak muncul lagi yang muncul adalah perjuangan kelas. Kalau jujur bagi saya aksi pemicu Marx mengkritisi ialah aktualisasian diri, akibat dari kritiknya itu laiah perubahan, revolusi. Namun gagasan penyebab: aktualisasi diri kemudian hilang dalam perjuangan mewujudkan masyarakat komunis Marx karena cendrung kapada kritik social kelas. Gagasan manusia menjadi redup.
Daftar Pustaka
Hardiman, Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia 2007,
Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia 2003
Mclellan, David (translated and edited), Karl Early Teks, Oxford, Basil Blackwell 1972
Van der Hoeven, Johan, Karl Marx: The Roots of His Thought,Van Gorcum, Assen/Amsterdam 1976
[1] Bdk. Hardiman, Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia 2007, hlm. 177
[2] Bdk. Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia 2003, hlm. 69-74
[3] Nahskah Economic and Philosophycal Manuscripts. Ditulis sekitar April-Agustus 1844. Penulis memakai edisi terjemahan yang ada di dalam buku Karl Early Teks (Translated and edited by David Mclellan, Oxford, Basil Blackwell 1972).
[4] Bdk. Hardiman, Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, hlm. 237-238
[5] Bdk. Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia, hlm. 90
[6] Karl Early Teks (Translated and edited by David Mclellan, Oxford, Basil Blackwell 1972) hlm. 134: The worker becomes all the poorer the more wealth he produces, the more his production increases in power and size. The worker becomes an ever cheaper commodity the more commodities he creates. The depreciation of the human world progress in direct proportion to increase in value of the world of things. Labor produces not only commodities; it produces itself and the worker as a commodity – and that to the extent to which it produces commodities in general.
[7] Bdk, Karl Early Teks (Translated and edited by David Mclellan, Oxford, Basil Blackwell 1972) hlm. 135
[8] Bdk. Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia, hlm. 95-98
[9] Ulasan ini saya mengikuti sepenuhnya dari tulisan Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia, hlm. 100-104
Teodisea: Menolak Allah untuk Membela Manusia
Kehadiran kejahatan dan penderitaan dalam hidup merupakan tantangan serius kepada konsep tradisional Barat berkaitan dengan Allah[1] yang mahakuasa dan sumber segala kebaikan. Baik kejahatan alamiah, penderitaan yang terjadi karena alam, maupun kejahatan moral (penderitaan karena kejahatan manusia) termasuk dalam persoalan kejahatan.[2] Di manakah Allah? Di manakah Allah ketika bencana tsunami 2006? Di manakah Allah ketika terjadi pembunuhan masal? Di manakah Allah yang penuh kuasa ketika manusia saling membunuh. Kejahatan dan penderitaan membuat manusia bertanya di manakah Allah yang mahakuasa dan mahabaik itu ketika terjadi penderitaan dan kejahatan.
Secara sederhana masalahnya dapat dirumuskan dengan pertanyaan: apa sebabnya Allah mengizinkan terjadinya kejahatan dan penderitaan di dunia? Masalah ini pertama kali disebut masalah teodisea oleh G.W. Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti pembenaran Allah. yang dimaksud ialah bahwa adanya kejahatan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik, sehingga seakan-akan perlu dibenarkan.[3]
Argumen penolakan atas nama penderitaan dan kejahatan pada dasarnya tidak melawan klaim eksistensi Allah, tetapi melawan konsep Allah sebagai yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik. Argumentasi ini berpusat pada inkonsistensi antara klaim Allah yang demikian dengan kenyataan bahwa ada banyak kejahatan dan penderitaan di dunia. Bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa dan maha baik mengizinkan terjadinya kejahatan di dunia ini. pada prinsipnya terdapat dua argumen yang dapat dipakai untuk mendekati persoalan ini. Pertama, argumen logis (a priori atau argument deduktif) menegasakan bahwa theisme tidak konsisten dalam logika sebab menerima kodrat Allah sekaligus mengakui keberadaan kejahatan. Kedua, berdasarkan kenyataan/ evidential (aposteriori atau argumen induktif), secara berlawanan melihat kepada jenis dan tingkatan penderiataan untuk melihat ukuran dan cakupan untuk melihat keberadaan kejahatan yang bertentangan dengan Allah.[4]
Argumen teodisea dapat dibagi dalam dua bagian yang mewakili tujuan alamat kejahatan; natural dan moral. Kejahatan alamiah bertujuan menyediakan alasan gejala alam yang menciptakan penderitaan, sementara moral memfokuskan diri pada kejahatan sebagai hasil dari perwujudan kehendak bebas. Untuk mempersempit pokok pembicaraan, tulisan ini mencoba mendekati ateisme dari perspektif penderitaan. Perlu dicatat bahwa masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri.[5]
1. Penderitaan adalah Wadas Ateime[6]
Mengapa aku menderita? Penderitaan adalah wadas bagi ateisme.
Denyutan sakit terhalus sekalipun, kendati itupun ada dalam satu atom,
menimbulkan sebuah retakan dari atas ke bawah. (G. Buchner)
Georg Buchner (1813-1837), yang saya kutip di atas, menyuarakan dengan tegas bahwa penderitaan adalah wadas bagi ateime. Dalam dramanya Dantons Tod (Kematian Danton: 1835), lewat mulut Danton mengatakan:
Lelaki di atas salib itu mengambik jalan yang aman; memang harus ada kekesalan. Tetapi celakalah orang, melaluinya kekesalan itu menimpa kita. Harus ya, keharusan itu lagi... Siapa yang mengatakan keharusan ini? Siapa? Apakah itu, yang menipu, yang melacur, menipu dan membunuh dalam diri kita? Kita adalah boneka-boneka, yang ditarik pada kawat oleh kekuatan-kekuatan yang tidak kita kenal; bukan kita sendiri! Pedang-pedang, dengannya roh-roh halus berperang, masih tetap ada, hanya kita tidak dapat melihat tangan, seperti dalam dongeng.
Yang sedang dikatakan Buchner ialah kenyataan keburukan, penderitaan yang tidak semuanya dapat dikembalikan kepada manusia, karena manusia pada dasarnya hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan. Karena manusia boneka, maka manusia tidak bisa dinilai secara moral. Manusia tidak bisa berbuat sesuatu untuk melawan pengaturan terhadap dirinya. Buchner menyebutnya sebagai kekuatan hukum alam, dan dengan itu dia menegaskan bahwa tidak ada Allah yang bisa diharapkan untuk mematahkan kekuatan hukum alam yang mengatur alam dan sejarah seperti ini. Kenyataan alam dan sejarah tidak memberi ruang untuk pembenaran bagi sebuah iman akan Allah. penderitaan di dalam dunia adalah wadah bagi ateisme.
Buchner mau menunjukkan bahwa manusia juga berhak atas hidup yang lebih baik. Hak seperti ini mestinya diberikan dan dijamin oleh sebuah instansi yang melampaui yang duniawi. Dengan cara berpikir demikian, maka Buchner punya alasan untuk menolak Allah dan menjadikan kenyataan penderitaan sebagai dasar memberontak. Bucher memang tidak menggaki lebih jauh penderitaan yang mesti menjadi wadas ateismenya.
2. Melihat Ateisme Nitzsche dan Sartre dalam Terang Teodisea
Keburukan dan penderitaan yang selalu dihadapi membuat manusia pesimis terhadap pembicaraan tentang kebaikan. Penderitaan adalah masalah yang sungguh menantang iman. Persoalannya ialah mengapa Allah dapat mengizinkan penderitaan. Penderitaan menimpa siapa saja termasuk orang yang mengku diri beriman kepada Allah yang mahakuasa dan mahabaik. Catatan bahwa, masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri, perlu diperhatikan sebelumnya untuk membahas melihat ateisme Nietzsche dan Sartre.
Ada dua hal yang dapat dilihat: Allah dialami dalam hidup dan manusia berharga pada dirinya. Manusia berharga pada dirinya hanya jika manusia dilihat secara utuh: sebagai makhluk yang berkehendak bebas, makhluk berakal yang juga memiliki perasaan. Sementara Allah dengan segala atributnya dihayati dalam pengalaman kehidupan sebagai yang diyakini.
Dari sudut ini, kita dapat melihat ateisme Nietzsche dan Sartre. Nietzsche misalnya melihat Allah bukan sebagai penyempurna manusia tetapi sebgai penghalang bagi kesempurnaan manusia. Allah bukan pembebas tetapi pemberi sanksi bagi manusia, sehingga manusia hanya melulu takut bersalah terhadap-Nya. Dalam Allah yang macam itu manusia menjadi terasing dan terlempar dari dirinya sendiri. karenanya, Allah macam itu harus ditiadakan, dibunuh.[7] Sejalan dengan Nietzsche, Sartre melihat Allah sebagai tempat pelimpahan tanggung jawab manusia, sehingga ia tidak bisa menentukan diri sendiri (eksistensialisme). Dengan tidak bertanggungjawab manusia tidak pernah menjadi diri sendiri. Karena manusia dapat dirinya sendiri apabila ia bebas. Tetapi jika ada Allah, manusia tidak bebas, maka Allah perlu ditiadakan.
Penolakan Allah dalam ateisme Nietzsche mau mengariskan bahwa manusia berharga dan tidak bisa ditentukan dan dihalangi oleh otoritas dari luar (baca: Allah). Sementara Sartre menjunjung tinggi kebebasan manusia, manusia harus menentukan dirinya, Allah penghalang kebebasan manusia. Keduanya sama mau menempatkan manusia pada posisinya, sebagai pribadi yang utuh dan otonom. Maka Allah tidak bisa bertindak semena-mena.
3. Filsafat Mencoba Menjawab Teodisea
Magnis Suseno dalam Menalar Tuhan memberikan enam alternatif jawaban dalam filsafat. Namun argumen-argumen filsafat disetai keterangan bahwa filsafat sendiri belum dapat menjawab persoalan mengapa Allah membiarkan penderitaan. Saya memilih satu dari enam penjelasan yang ditawarkan karena pertimbangan alasan itu dapat dipertanggungjawabkan. Argumen itu berbunyi: dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya.[8] Argumen ini sekaligus mungkin menjawab Buchner yang mengingkari Allah karena kenyataan penderitaan manusia.
Pendapat bahwa, dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya, sangat dekat dengan pembelaan kehendak bebas mana kala berhadapam dengan kenyataan adanya kejahatan ada di dunia ini. Alvin C. Plantinga dalam bukunya God, Freedom and Evil, mengungkapkan sebuah pembelaan terhadap kehendak bebas. Baginya, pembelaan kepada kehendak bebas adalah ide mengenai keadaan yang bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan. Jika seseorang adalah bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan tertentu, maka dia adalah bebas untuk melakukan tindakan itu dan bebas untuk tidak melakukannya. Pembelaan kehendak bebas itu dapat dirumuskan, sebagai berikut. Suatu dunia yang berisi ciptaan-ciptaan yang adalah bebas secara signifikan (dan secara bebas melakukan lebih banyak tindakan yang baikdari pada yang jahat) adalah lebih bernilai, sama halnya dengan semua yang lain, dari pada suatu dunia yang tidak berisi ciptaan-ciptaan yang bebas sama sekali.[9] Di sini mau diungkapkan bahwa Allah bisa menciptakan ciptaan yang bebas, tetapi tidak bisa menuntut atau menentukan mereka untuk hanya melakukan yang baik saja. Sebab, kalau Allah berbuat demikian ciptaan menjadi seperti boneka karena memang tidak bebas. Karena itu untuk bisa menciptakan ciptaan yang dapat melakukan kebaikan (moral), Allah harus menciptakan ciptaan yang berkemampuan untuk melakukan kejahatan moral. Walaupun argumen ini juga punya kelemahan, tetapi argumen ini mengungkapkan bahwa manusia dengan kehendak bebasnya lebih baik dari pada tanpa kehendak bebas.[10] Lantas bagaimana dengan penderitaan?
Leibniz mengungkapkan, dunia ini, yaitu dunia aktual, pasti merupakan yang terbaik dari semua dunia yang mungkin.[11] Karena, sebelum Allah menciptakan apapun, Ia berhadapan dengan berbagai pilihan; Ia bisa menciptakan atau mengaktualisasikan setiap dari puluhan ribu dunia yang mungkin. Dia adalah baik secara sempurna, Dia sanggup menciptakan setiap dunia yang Ia kehendaki; oleh karena itu dunia ini, yang benar-benar diciptakan, pastilah yang paling baik dan mungkin ada. Di sini tidak berarti bahwa Allah tidak berkuasa jika tidak menciptakan dunia yang menutup terjadinya kejahatan dan keburukan. Yang mau ditekankan ialah konsistensi Allah, bahwa ia tidak mungkin menciptakan sesuatu yang bertentangan dengan diriNya.
Pertanyaannya ialah apakah Allah tidak bisa mencegah kemungkinan untuk menderita? Apakah Allah harus terus menerus campur tangan setiap kali ada penderitaan? Tentu saja tidak. Apabila Allah memang mau menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia secara bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan campur tangan untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya, tetapi Allah tidak mencegah karena ia konsisten untuk menciptakan manusia seperti itu.
4. Tanggapan Kritis
Penolakan Allah atas nama penderitaan sebenarnya tidak menolak klaim eksistensi, keberadaan Allah. Keberadaan Allah tidak ditolak, penolakan lebih pada atribut Allah sebagai yang mahakuasa dan mahabaik. Sehingga pertanyaan yang diajukan adalah “Di manakah Allah?” bukan apakah Allah sungguh ada. Sehingga perlu dibedakan antara pecaya kepada Allah (beriman) dan percaya bahwa Allah itu ada. Percaya bahwa Allah itu ada atau tidak adalah posisi yang diambil untuk menegaskan sesuatu seperti dalam masalah penderitaan misalnya. Masalah penolakan Allah atas dasar penderitaan manusia (Buchner, atau juga Nietzsche dan Sartre) mau menegaskan bahwa manusia bukan boneka, manusia adalah pribadi yang bernilai pada dirinya. Sementara percaya kepada Allah adalah posisi yang berbeda. Maksudnya orang percaya kepada Allah menerima bahwa percaya kepada Allah sebagai suatu posisi yang benar dan dengan demikian mengakui Allah. Sehingga bagaimana menyikapi penderitaan juga adalah posisi yang diambil seseorang. Karl Jasper misalnya melihat penderitaan sebagai suatu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang. Kalau manusia punya keberanian dan ketebahan hati menerima dan menanggung penderitaan, maka ia akan tumbuh melalauinya.[12] Sehingga protes kepada Allah seperti Ayub dalam kitab suci juga adalah sesuatu yang mungkin dan masuk akal.
Penolakan Allah membawa juga bisa membawa manusia pada posisi allah. Hal ini membawa manusia pada antropodisea (antrophos: manusia, dike: keadilan). Ateisme Buchner misalnya mau menempatkan manusia pada posisinya yakni memperoleh hidup yang lebih layak. Namun, manusia dalam ateisme Nietzsche tidak bisa dikategorikan sebagai pengganti posisi Allah sebab, jika demikian manusia itu juga harus dibunuh. Ketika Allah mati dunia menjadi tanpa nilai. Penolakan Allah atas nama penderitaan dan kejahatan tetap bagi saya pada dasarnya tidak menolak klaim keberadaan Allah, tetapi lebih pada pengalaman mengalami Allah dan yang digambarkan tokoh-tokoh tertentu. Penggambaran yang keliru tentu juga akan memandang secara keliru. Namun, sebagai posisi kritis hemat saya pemikiran ateistik teodisea berguna dalam membangun pemahaman Allah yang otentik.
[1] Hanya untuk konsisten pemakaian kata, beberapa kutipan yang saya kutip saya terpaksa mengganti kata Tuhan dengan Allah supaya tidak membingungkan.
[2] Bdk.Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 166
[3] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 216
[4] Bdk. opcit, Wiester, Andrea, hlm, 167.
[5] Teodisea tidak muncul dalam semua agama. Dalam pandangan dualistik penderitaan dijelaskan dengan prinsip asali yang negatif. Dalam panteisme, misalnya penderitaan individual seakan-akan tenggelam dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinus. Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 222
[6] Kutipan dan pembahan mengenai topik ini banyak diambil dari Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero, hlm. 164-169
[7] Bdk. Sindhunata, Kritik Humanisme-Ateis, dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000, hlm. 3
[8] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 223
[9] Bdk. Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum, hlm. 44
[10] Keberatan itu misalanya, adalah mungkin dunia ini berisi manusia yang bebas yang selalu melakukan yang baik. tetapi Allah adalah maha kuasa, kuasa-Nya tidak memiliki batasan nonlogis. Jadi, dapat diandaikan juga suatau dunia di mana ciptaan bebas malakukan yang salah, tetapi pada kenyataannya tidak melakukan yang salah. Maka pembela kehendak bebas keliru dalam penekanan bahwa Allah adalah mahakuasa tetapi tidak sanggup menciptakan suatu dunia yang berisi kebaikan moral tanpa mengizinkan kejahatan moral. Bdk. ibid, hlm. 48
[11] Bdk. ibid, hlm. 49
[12] Bdk. Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius, hlm. 123
Daftar Pustaka
Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero.
Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum.
Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius.
Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius.
Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press hlm. 166-181
Bahan Bacaan lain:
F. Nietzsche, Si Pembunuh Tuhan dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000.
Kita Para Pembunuh Tuhan dalam Jurnal Filsafat Driyarkata, Agustus 2000, Tahun XXVII No. 1
Secara sederhana masalahnya dapat dirumuskan dengan pertanyaan: apa sebabnya Allah mengizinkan terjadinya kejahatan dan penderitaan di dunia? Masalah ini pertama kali disebut masalah teodisea oleh G.W. Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti pembenaran Allah. yang dimaksud ialah bahwa adanya kejahatan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik, sehingga seakan-akan perlu dibenarkan.[3]
Argumen penolakan atas nama penderitaan dan kejahatan pada dasarnya tidak melawan klaim eksistensi Allah, tetapi melawan konsep Allah sebagai yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik. Argumentasi ini berpusat pada inkonsistensi antara klaim Allah yang demikian dengan kenyataan bahwa ada banyak kejahatan dan penderitaan di dunia. Bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa dan maha baik mengizinkan terjadinya kejahatan di dunia ini. pada prinsipnya terdapat dua argumen yang dapat dipakai untuk mendekati persoalan ini. Pertama, argumen logis (a priori atau argument deduktif) menegasakan bahwa theisme tidak konsisten dalam logika sebab menerima kodrat Allah sekaligus mengakui keberadaan kejahatan. Kedua, berdasarkan kenyataan/ evidential (aposteriori atau argumen induktif), secara berlawanan melihat kepada jenis dan tingkatan penderiataan untuk melihat ukuran dan cakupan untuk melihat keberadaan kejahatan yang bertentangan dengan Allah.[4]
Argumen teodisea dapat dibagi dalam dua bagian yang mewakili tujuan alamat kejahatan; natural dan moral. Kejahatan alamiah bertujuan menyediakan alasan gejala alam yang menciptakan penderitaan, sementara moral memfokuskan diri pada kejahatan sebagai hasil dari perwujudan kehendak bebas. Untuk mempersempit pokok pembicaraan, tulisan ini mencoba mendekati ateisme dari perspektif penderitaan. Perlu dicatat bahwa masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri.[5]
1. Penderitaan adalah Wadas Ateime[6]
Mengapa aku menderita? Penderitaan adalah wadas bagi ateisme.
Denyutan sakit terhalus sekalipun, kendati itupun ada dalam satu atom,
menimbulkan sebuah retakan dari atas ke bawah. (G. Buchner)
Georg Buchner (1813-1837), yang saya kutip di atas, menyuarakan dengan tegas bahwa penderitaan adalah wadas bagi ateime. Dalam dramanya Dantons Tod (Kematian Danton: 1835), lewat mulut Danton mengatakan:
Lelaki di atas salib itu mengambik jalan yang aman; memang harus ada kekesalan. Tetapi celakalah orang, melaluinya kekesalan itu menimpa kita. Harus ya, keharusan itu lagi... Siapa yang mengatakan keharusan ini? Siapa? Apakah itu, yang menipu, yang melacur, menipu dan membunuh dalam diri kita? Kita adalah boneka-boneka, yang ditarik pada kawat oleh kekuatan-kekuatan yang tidak kita kenal; bukan kita sendiri! Pedang-pedang, dengannya roh-roh halus berperang, masih tetap ada, hanya kita tidak dapat melihat tangan, seperti dalam dongeng.
Yang sedang dikatakan Buchner ialah kenyataan keburukan, penderitaan yang tidak semuanya dapat dikembalikan kepada manusia, karena manusia pada dasarnya hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan. Karena manusia boneka, maka manusia tidak bisa dinilai secara moral. Manusia tidak bisa berbuat sesuatu untuk melawan pengaturan terhadap dirinya. Buchner menyebutnya sebagai kekuatan hukum alam, dan dengan itu dia menegaskan bahwa tidak ada Allah yang bisa diharapkan untuk mematahkan kekuatan hukum alam yang mengatur alam dan sejarah seperti ini. Kenyataan alam dan sejarah tidak memberi ruang untuk pembenaran bagi sebuah iman akan Allah. penderitaan di dalam dunia adalah wadah bagi ateisme.
Buchner mau menunjukkan bahwa manusia juga berhak atas hidup yang lebih baik. Hak seperti ini mestinya diberikan dan dijamin oleh sebuah instansi yang melampaui yang duniawi. Dengan cara berpikir demikian, maka Buchner punya alasan untuk menolak Allah dan menjadikan kenyataan penderitaan sebagai dasar memberontak. Bucher memang tidak menggaki lebih jauh penderitaan yang mesti menjadi wadas ateismenya.
2. Melihat Ateisme Nitzsche dan Sartre dalam Terang Teodisea
Keburukan dan penderitaan yang selalu dihadapi membuat manusia pesimis terhadap pembicaraan tentang kebaikan. Penderitaan adalah masalah yang sungguh menantang iman. Persoalannya ialah mengapa Allah dapat mengizinkan penderitaan. Penderitaan menimpa siapa saja termasuk orang yang mengku diri beriman kepada Allah yang mahakuasa dan mahabaik. Catatan bahwa, masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri, perlu diperhatikan sebelumnya untuk membahas melihat ateisme Nietzsche dan Sartre.
Ada dua hal yang dapat dilihat: Allah dialami dalam hidup dan manusia berharga pada dirinya. Manusia berharga pada dirinya hanya jika manusia dilihat secara utuh: sebagai makhluk yang berkehendak bebas, makhluk berakal yang juga memiliki perasaan. Sementara Allah dengan segala atributnya dihayati dalam pengalaman kehidupan sebagai yang diyakini.
Dari sudut ini, kita dapat melihat ateisme Nietzsche dan Sartre. Nietzsche misalnya melihat Allah bukan sebagai penyempurna manusia tetapi sebgai penghalang bagi kesempurnaan manusia. Allah bukan pembebas tetapi pemberi sanksi bagi manusia, sehingga manusia hanya melulu takut bersalah terhadap-Nya. Dalam Allah yang macam itu manusia menjadi terasing dan terlempar dari dirinya sendiri. karenanya, Allah macam itu harus ditiadakan, dibunuh.[7] Sejalan dengan Nietzsche, Sartre melihat Allah sebagai tempat pelimpahan tanggung jawab manusia, sehingga ia tidak bisa menentukan diri sendiri (eksistensialisme). Dengan tidak bertanggungjawab manusia tidak pernah menjadi diri sendiri. Karena manusia dapat dirinya sendiri apabila ia bebas. Tetapi jika ada Allah, manusia tidak bebas, maka Allah perlu ditiadakan.
Penolakan Allah dalam ateisme Nietzsche mau mengariskan bahwa manusia berharga dan tidak bisa ditentukan dan dihalangi oleh otoritas dari luar (baca: Allah). Sementara Sartre menjunjung tinggi kebebasan manusia, manusia harus menentukan dirinya, Allah penghalang kebebasan manusia. Keduanya sama mau menempatkan manusia pada posisinya, sebagai pribadi yang utuh dan otonom. Maka Allah tidak bisa bertindak semena-mena.
3. Filsafat Mencoba Menjawab Teodisea
Magnis Suseno dalam Menalar Tuhan memberikan enam alternatif jawaban dalam filsafat. Namun argumen-argumen filsafat disetai keterangan bahwa filsafat sendiri belum dapat menjawab persoalan mengapa Allah membiarkan penderitaan. Saya memilih satu dari enam penjelasan yang ditawarkan karena pertimbangan alasan itu dapat dipertanggungjawabkan. Argumen itu berbunyi: dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya.[8] Argumen ini sekaligus mungkin menjawab Buchner yang mengingkari Allah karena kenyataan penderitaan manusia.
Pendapat bahwa, dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya, sangat dekat dengan pembelaan kehendak bebas mana kala berhadapam dengan kenyataan adanya kejahatan ada di dunia ini. Alvin C. Plantinga dalam bukunya God, Freedom and Evil, mengungkapkan sebuah pembelaan terhadap kehendak bebas. Baginya, pembelaan kepada kehendak bebas adalah ide mengenai keadaan yang bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan. Jika seseorang adalah bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan tertentu, maka dia adalah bebas untuk melakukan tindakan itu dan bebas untuk tidak melakukannya. Pembelaan kehendak bebas itu dapat dirumuskan, sebagai berikut. Suatu dunia yang berisi ciptaan-ciptaan yang adalah bebas secara signifikan (dan secara bebas melakukan lebih banyak tindakan yang baikdari pada yang jahat) adalah lebih bernilai, sama halnya dengan semua yang lain, dari pada suatu dunia yang tidak berisi ciptaan-ciptaan yang bebas sama sekali.[9] Di sini mau diungkapkan bahwa Allah bisa menciptakan ciptaan yang bebas, tetapi tidak bisa menuntut atau menentukan mereka untuk hanya melakukan yang baik saja. Sebab, kalau Allah berbuat demikian ciptaan menjadi seperti boneka karena memang tidak bebas. Karena itu untuk bisa menciptakan ciptaan yang dapat melakukan kebaikan (moral), Allah harus menciptakan ciptaan yang berkemampuan untuk melakukan kejahatan moral. Walaupun argumen ini juga punya kelemahan, tetapi argumen ini mengungkapkan bahwa manusia dengan kehendak bebasnya lebih baik dari pada tanpa kehendak bebas.[10] Lantas bagaimana dengan penderitaan?
Leibniz mengungkapkan, dunia ini, yaitu dunia aktual, pasti merupakan yang terbaik dari semua dunia yang mungkin.[11] Karena, sebelum Allah menciptakan apapun, Ia berhadapan dengan berbagai pilihan; Ia bisa menciptakan atau mengaktualisasikan setiap dari puluhan ribu dunia yang mungkin. Dia adalah baik secara sempurna, Dia sanggup menciptakan setiap dunia yang Ia kehendaki; oleh karena itu dunia ini, yang benar-benar diciptakan, pastilah yang paling baik dan mungkin ada. Di sini tidak berarti bahwa Allah tidak berkuasa jika tidak menciptakan dunia yang menutup terjadinya kejahatan dan keburukan. Yang mau ditekankan ialah konsistensi Allah, bahwa ia tidak mungkin menciptakan sesuatu yang bertentangan dengan diriNya.
Pertanyaannya ialah apakah Allah tidak bisa mencegah kemungkinan untuk menderita? Apakah Allah harus terus menerus campur tangan setiap kali ada penderitaan? Tentu saja tidak. Apabila Allah memang mau menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia secara bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan campur tangan untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya, tetapi Allah tidak mencegah karena ia konsisten untuk menciptakan manusia seperti itu.
4. Tanggapan Kritis
Penolakan Allah atas nama penderitaan sebenarnya tidak menolak klaim eksistensi, keberadaan Allah. Keberadaan Allah tidak ditolak, penolakan lebih pada atribut Allah sebagai yang mahakuasa dan mahabaik. Sehingga pertanyaan yang diajukan adalah “Di manakah Allah?” bukan apakah Allah sungguh ada. Sehingga perlu dibedakan antara pecaya kepada Allah (beriman) dan percaya bahwa Allah itu ada. Percaya bahwa Allah itu ada atau tidak adalah posisi yang diambil untuk menegaskan sesuatu seperti dalam masalah penderitaan misalnya. Masalah penolakan Allah atas dasar penderitaan manusia (Buchner, atau juga Nietzsche dan Sartre) mau menegaskan bahwa manusia bukan boneka, manusia adalah pribadi yang bernilai pada dirinya. Sementara percaya kepada Allah adalah posisi yang berbeda. Maksudnya orang percaya kepada Allah menerima bahwa percaya kepada Allah sebagai suatu posisi yang benar dan dengan demikian mengakui Allah. Sehingga bagaimana menyikapi penderitaan juga adalah posisi yang diambil seseorang. Karl Jasper misalnya melihat penderitaan sebagai suatu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang. Kalau manusia punya keberanian dan ketebahan hati menerima dan menanggung penderitaan, maka ia akan tumbuh melalauinya.[12] Sehingga protes kepada Allah seperti Ayub dalam kitab suci juga adalah sesuatu yang mungkin dan masuk akal.
Penolakan Allah membawa juga bisa membawa manusia pada posisi allah. Hal ini membawa manusia pada antropodisea (antrophos: manusia, dike: keadilan). Ateisme Buchner misalnya mau menempatkan manusia pada posisinya yakni memperoleh hidup yang lebih layak. Namun, manusia dalam ateisme Nietzsche tidak bisa dikategorikan sebagai pengganti posisi Allah sebab, jika demikian manusia itu juga harus dibunuh. Ketika Allah mati dunia menjadi tanpa nilai. Penolakan Allah atas nama penderitaan dan kejahatan tetap bagi saya pada dasarnya tidak menolak klaim keberadaan Allah, tetapi lebih pada pengalaman mengalami Allah dan yang digambarkan tokoh-tokoh tertentu. Penggambaran yang keliru tentu juga akan memandang secara keliru. Namun, sebagai posisi kritis hemat saya pemikiran ateistik teodisea berguna dalam membangun pemahaman Allah yang otentik.
[1] Hanya untuk konsisten pemakaian kata, beberapa kutipan yang saya kutip saya terpaksa mengganti kata Tuhan dengan Allah supaya tidak membingungkan.
[2] Bdk.Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 166
[3] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 216
[4] Bdk. opcit, Wiester, Andrea, hlm, 167.
[5] Teodisea tidak muncul dalam semua agama. Dalam pandangan dualistik penderitaan dijelaskan dengan prinsip asali yang negatif. Dalam panteisme, misalnya penderitaan individual seakan-akan tenggelam dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinus. Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 222
[6] Kutipan dan pembahan mengenai topik ini banyak diambil dari Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero, hlm. 164-169
[7] Bdk. Sindhunata, Kritik Humanisme-Ateis, dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000, hlm. 3
[8] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 223
[9] Bdk. Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum, hlm. 44
[10] Keberatan itu misalanya, adalah mungkin dunia ini berisi manusia yang bebas yang selalu melakukan yang baik. tetapi Allah adalah maha kuasa, kuasa-Nya tidak memiliki batasan nonlogis. Jadi, dapat diandaikan juga suatau dunia di mana ciptaan bebas malakukan yang salah, tetapi pada kenyataannya tidak melakukan yang salah. Maka pembela kehendak bebas keliru dalam penekanan bahwa Allah adalah mahakuasa tetapi tidak sanggup menciptakan suatu dunia yang berisi kebaikan moral tanpa mengizinkan kejahatan moral. Bdk. ibid, hlm. 48
[11] Bdk. ibid, hlm. 49
[12] Bdk. Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius, hlm. 123
Daftar Pustaka
Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero.
Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum.
Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius.
Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius.
Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press hlm. 166-181
Bahan Bacaan lain:
F. Nietzsche, Si Pembunuh Tuhan dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000.
Kita Para Pembunuh Tuhan dalam Jurnal Filsafat Driyarkata, Agustus 2000, Tahun XXVII No. 1
Bambang Setiawan: Coal Production Must Restricted
MINE-Jakarta-Indonesia's coal production, should be limited within 10 to 15 years. Carrying capacity of the environment into consideration. As stated by Director General of Mineral and Coal Ministry of Energy and Mineral Resources (KESDM), Bambang Setiawan, when a speaker in the annual event OZMINE in Jakarta today (Tuesday, 03/29).
Furthermore, Bambang said, the condition of coal mines in Indonesia, is very different from Australia. In the land of kangaroos, he said again, mine sites are in remote areas far from the settlement residents. So regardless of the addition of the mine site, it will not disturb the surrounding community.
While in Indonesia, the mine site is very close to the population. So if you do not do restrictions on land expansion, will disturb the surrounding community and social conflict.
"With these konsisi I think, coal production should be restricted. Maybe in 10 tau 15 years ahead, "he said.
When asked bagaiaman how restrictions on coal production is it says there needs to be evaluated. He said the study by considering various aspects, including environmental and social aspects.
Meanwhile, Executive Director of Indonesian Coal Mining Association (APBI), Supriatna Suhala said the move could have been done, but it takes a long time, not suddenly. Because without a period of time, will be overwhelmed.
To avoid collision with a carrying capacity of the environment, Supriatna menguslkan to do a merger, especially for small companies, large denngan concession under 5 thousand hectares as diamantkan Act.
"Merger was to adjacent sites, making it more efficient, especially for for environmental control is also easier," he said, according to speakers at the event OZMINE.
With the merger, he added, companies will be safer, more resilient. In addition, concern and responsibility towards lingkunganpun can be done, because the post-mining activities can be conducted jointly.
Furthermore, Bambang said, the condition of coal mines in Indonesia, is very different from Australia. In the land of kangaroos, he said again, mine sites are in remote areas far from the settlement residents. So regardless of the addition of the mine site, it will not disturb the surrounding community.
While in Indonesia, the mine site is very close to the population. So if you do not do restrictions on land expansion, will disturb the surrounding community and social conflict.
"With these konsisi I think, coal production should be restricted. Maybe in 10 tau 15 years ahead, "he said.
When asked bagaiaman how restrictions on coal production is it says there needs to be evaluated. He said the study by considering various aspects, including environmental and social aspects.
Meanwhile, Executive Director of Indonesian Coal Mining Association (APBI), Supriatna Suhala said the move could have been done, but it takes a long time, not suddenly. Because without a period of time, will be overwhelmed.
To avoid collision with a carrying capacity of the environment, Supriatna menguslkan to do a merger, especially for small companies, large denngan concession under 5 thousand hectares as diamantkan Act.
"Merger was to adjacent sites, making it more efficient, especially for for environmental control is also easier," he said, according to speakers at the event OZMINE.
With the merger, he added, companies will be safer, more resilient. In addition, concern and responsibility towards lingkunganpun can be done, because the post-mining activities can be conducted jointly.
Selasa, 14 September 2010
ketakutan
perjalanan hidup ini 70 tahun atau 80 tahun dan hampir semuanya penuh dengan derita, begitu kata mazmur 90. Memang tak dapat disangkal, hidup ini susah.
kesusahan dan kecemasan beriringan bersama kegembiraan dan harapan akan sesuatu yang lebih baik. harapan selalu ada, namun saya ingin menulis ketakutan, semoga saya juga nantinya bisa menulis tentang harapan.
ketakutan, ada di mana-mana. para gadis berjalan dengan pakain yang menarik untuk dilihat, dari dulu Hobbes telah megatakan homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lain, maka pertempuran dan peperangan adalah keadaan nature nya. mungkin kita bisa mengkritik Hobbes dengan mengatakan, ia terlalu mereduksi manusia hanya pada salah satu aspeknya saja yakni ketakutannya, ia tidak melihat sifat sosial, homo homini socius.
Fransiskus Asisi mengatakan ketakutan terbesar manusia seharusnya ialah bahwa ia akan mati dalam keadaan berdosa. saya sependapat dengan dia dalam hal ini, serentak pula saya takut bahwa saya akan mati dalam keadaan berdosa dan tidak layak untuk bertemu dengan Tuhan.
lepaskan semuanya, saya ingin membahas ketakutan masa muda. apa yang kamu takutkan hai orang muda? tidak disukai? tidak mempunyai jodoh? tidak mempunyai teman dan orang yang memperhatikan kita? saya selalu membaca dalam status facebokok teman-teman yang isinya ialah keluhan, hampir 90% menulis tentang ketakutan dan keluhan. keluhan? bukan kah keluha adalah bentuk lain dari ketakutan banhwa harapan saya tidak sejalan dengan apa yang saya perkirakan? bukankah keluhan lahir dari kekecewaan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi?
banyak nasihat bijak yang mengatakan untuk menikmati hari ini saja besok ada kesusahannya sendiri. tiap-tiap hari, masing-masing kesusahan. kalau ada yang bertanya apa yang paling saya takutkan, saya akan menjawab: saya takut bahwa saya putus harapan dan kehilangan idealisme pribadi.
entah mengapa, bagi saya uang, harta, hiburan kini tidak pernah mengisi kesepian hidup. entah mengapa hiburan di sekitarku menjadi sebuah tipuan sesaat; entah mengapa semua orang sepertinya menikmati keadaan yang lebih baik dari saya? entah mengapa semua orang seperti menikamti hidupnya dan saya tidak?
saya kira, ketakutan macam apapun dan dalam wujud apapun tidak akan membuat saya malu untuk berjalan terus, ia tidak akan mematahkan kaki saya untuk maju. ketakutan mungkin seperti bayang yang berjalan beriringan, tetapi jangan lupa bahwa ada banyak potensi dalam diri yang selalu memmampukan kita untuk melawan ketakutan.
saya kira kecemasan macam ini adalah kecemasan orang bodoh. karena saya bodoh saya mengungkapkannya. namun, untuk apa saya takut? hidup adalah revolusi: merombak dan membentuk, manusia terlalu hebat untuk adaptif, terlalu untuk bisa berkelit dari semua problema, ia diciptakan untuk menjawab tantangan dunia, ia bukan penikmat tetapi ia perpanjangan tangan pencipta, manusia hadir untuk menciptakan situasi.
aku cinta damai, cinta wanita, cinta keindahan, maka aku mencintai semuanya, untuk apa aku takut, tak ada uang? hahaha uang adalah pelacur universal. hahaha aku tidak mau uang menjajah aku, aku tidak mau ia berkuasa, ia memang bukan segalanya, tapi dengan uang pada zaman sekarang semuanya mungkin hahahaha....coretan ini gila,
Minggu, 12 September 2010
ada cermin
di matamu ada cermin
yang ceritakan yang tersembunyi
telaga ada di balik matamu
di antara bulu alis mata yang berusaha menutupinya
matamu tidak pernah bohong
walau sering mata itu mencoba untuk bersembunyi tentang kesedihanmu
tapi tidak dariku, matamu cermin diriku
ia bening, polos, tulus
Langganan:
Postingan (Atom)