Kehadiran kejahatan dan penderitaan dalam hidup merupakan tantangan serius kepada konsep tradisional Barat berkaitan dengan Allah[1] yang mahakuasa dan sumber segala kebaikan. Baik kejahatan alamiah, penderitaan yang terjadi karena alam, maupun kejahatan moral (penderitaan karena kejahatan manusia) termasuk dalam persoalan kejahatan.[2] Di manakah Allah? Di manakah Allah ketika bencana tsunami 2006? Di manakah Allah ketika terjadi pembunuhan masal? Di manakah Allah yang penuh kuasa ketika manusia saling membunuh. Kejahatan dan penderitaan membuat manusia bertanya di manakah Allah yang mahakuasa dan mahabaik itu ketika terjadi penderitaan dan kejahatan.
Secara sederhana masalahnya dapat dirumuskan dengan pertanyaan: apa sebabnya Allah mengizinkan terjadinya kejahatan dan penderitaan di dunia? Masalah ini pertama kali disebut masalah teodisea oleh G.W. Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti pembenaran Allah. yang dimaksud ialah bahwa adanya kejahatan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik, sehingga seakan-akan perlu dibenarkan.[3]
Argumen penolakan atas nama penderitaan dan kejahatan pada dasarnya tidak melawan klaim eksistensi Allah, tetapi melawan konsep Allah sebagai yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik. Argumentasi ini berpusat pada inkonsistensi antara klaim Allah yang demikian dengan kenyataan bahwa ada banyak kejahatan dan penderitaan di dunia. Bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa dan maha baik mengizinkan terjadinya kejahatan di dunia ini. pada prinsipnya terdapat dua argumen yang dapat dipakai untuk mendekati persoalan ini. Pertama, argumen logis (a priori atau argument deduktif) menegasakan bahwa theisme tidak konsisten dalam logika sebab menerima kodrat Allah sekaligus mengakui keberadaan kejahatan. Kedua, berdasarkan kenyataan/ evidential (aposteriori atau argumen induktif), secara berlawanan melihat kepada jenis dan tingkatan penderiataan untuk melihat ukuran dan cakupan untuk melihat keberadaan kejahatan yang bertentangan dengan Allah.[4]
Argumen teodisea dapat dibagi dalam dua bagian yang mewakili tujuan alamat kejahatan; natural dan moral. Kejahatan alamiah bertujuan menyediakan alasan gejala alam yang menciptakan penderitaan, sementara moral memfokuskan diri pada kejahatan sebagai hasil dari perwujudan kehendak bebas. Untuk mempersempit pokok pembicaraan, tulisan ini mencoba mendekati ateisme dari perspektif penderitaan. Perlu dicatat bahwa masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri.[5]
1. Penderitaan adalah Wadas Ateime[6]
Mengapa aku menderita? Penderitaan adalah wadas bagi ateisme.
Denyutan sakit terhalus sekalipun, kendati itupun ada dalam satu atom,
menimbulkan sebuah retakan dari atas ke bawah. (G. Buchner)
Georg Buchner (1813-1837), yang saya kutip di atas, menyuarakan dengan tegas bahwa penderitaan adalah wadas bagi ateime. Dalam dramanya Dantons Tod (Kematian Danton: 1835), lewat mulut Danton mengatakan:
Lelaki di atas salib itu mengambik jalan yang aman; memang harus ada kekesalan. Tetapi celakalah orang, melaluinya kekesalan itu menimpa kita. Harus ya, keharusan itu lagi... Siapa yang mengatakan keharusan ini? Siapa? Apakah itu, yang menipu, yang melacur, menipu dan membunuh dalam diri kita? Kita adalah boneka-boneka, yang ditarik pada kawat oleh kekuatan-kekuatan yang tidak kita kenal; bukan kita sendiri! Pedang-pedang, dengannya roh-roh halus berperang, masih tetap ada, hanya kita tidak dapat melihat tangan, seperti dalam dongeng.
Yang sedang dikatakan Buchner ialah kenyataan keburukan, penderitaan yang tidak semuanya dapat dikembalikan kepada manusia, karena manusia pada dasarnya hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan. Karena manusia boneka, maka manusia tidak bisa dinilai secara moral. Manusia tidak bisa berbuat sesuatu untuk melawan pengaturan terhadap dirinya. Buchner menyebutnya sebagai kekuatan hukum alam, dan dengan itu dia menegaskan bahwa tidak ada Allah yang bisa diharapkan untuk mematahkan kekuatan hukum alam yang mengatur alam dan sejarah seperti ini. Kenyataan alam dan sejarah tidak memberi ruang untuk pembenaran bagi sebuah iman akan Allah. penderitaan di dalam dunia adalah wadah bagi ateisme.
Buchner mau menunjukkan bahwa manusia juga berhak atas hidup yang lebih baik. Hak seperti ini mestinya diberikan dan dijamin oleh sebuah instansi yang melampaui yang duniawi. Dengan cara berpikir demikian, maka Buchner punya alasan untuk menolak Allah dan menjadikan kenyataan penderitaan sebagai dasar memberontak. Bucher memang tidak menggaki lebih jauh penderitaan yang mesti menjadi wadas ateismenya.
2. Melihat Ateisme Nitzsche dan Sartre dalam Terang Teodisea
Keburukan dan penderitaan yang selalu dihadapi membuat manusia pesimis terhadap pembicaraan tentang kebaikan. Penderitaan adalah masalah yang sungguh menantang iman. Persoalannya ialah mengapa Allah dapat mengizinkan penderitaan. Penderitaan menimpa siapa saja termasuk orang yang mengku diri beriman kepada Allah yang mahakuasa dan mahabaik. Catatan bahwa, masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri, perlu diperhatikan sebelumnya untuk membahas melihat ateisme Nietzsche dan Sartre.
Ada dua hal yang dapat dilihat: Allah dialami dalam hidup dan manusia berharga pada dirinya. Manusia berharga pada dirinya hanya jika manusia dilihat secara utuh: sebagai makhluk yang berkehendak bebas, makhluk berakal yang juga memiliki perasaan. Sementara Allah dengan segala atributnya dihayati dalam pengalaman kehidupan sebagai yang diyakini.
Dari sudut ini, kita dapat melihat ateisme Nietzsche dan Sartre. Nietzsche misalnya melihat Allah bukan sebagai penyempurna manusia tetapi sebgai penghalang bagi kesempurnaan manusia. Allah bukan pembebas tetapi pemberi sanksi bagi manusia, sehingga manusia hanya melulu takut bersalah terhadap-Nya. Dalam Allah yang macam itu manusia menjadi terasing dan terlempar dari dirinya sendiri. karenanya, Allah macam itu harus ditiadakan, dibunuh.[7] Sejalan dengan Nietzsche, Sartre melihat Allah sebagai tempat pelimpahan tanggung jawab manusia, sehingga ia tidak bisa menentukan diri sendiri (eksistensialisme). Dengan tidak bertanggungjawab manusia tidak pernah menjadi diri sendiri. Karena manusia dapat dirinya sendiri apabila ia bebas. Tetapi jika ada Allah, manusia tidak bebas, maka Allah perlu ditiadakan.
Penolakan Allah dalam ateisme Nietzsche mau mengariskan bahwa manusia berharga dan tidak bisa ditentukan dan dihalangi oleh otoritas dari luar (baca: Allah). Sementara Sartre menjunjung tinggi kebebasan manusia, manusia harus menentukan dirinya, Allah penghalang kebebasan manusia. Keduanya sama mau menempatkan manusia pada posisinya, sebagai pribadi yang utuh dan otonom. Maka Allah tidak bisa bertindak semena-mena.
3. Filsafat Mencoba Menjawab Teodisea
Magnis Suseno dalam Menalar Tuhan memberikan enam alternatif jawaban dalam filsafat. Namun argumen-argumen filsafat disetai keterangan bahwa filsafat sendiri belum dapat menjawab persoalan mengapa Allah membiarkan penderitaan. Saya memilih satu dari enam penjelasan yang ditawarkan karena pertimbangan alasan itu dapat dipertanggungjawabkan. Argumen itu berbunyi: dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya.[8] Argumen ini sekaligus mungkin menjawab Buchner yang mengingkari Allah karena kenyataan penderitaan manusia.
Pendapat bahwa, dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya, sangat dekat dengan pembelaan kehendak bebas mana kala berhadapam dengan kenyataan adanya kejahatan ada di dunia ini. Alvin C. Plantinga dalam bukunya God, Freedom and Evil, mengungkapkan sebuah pembelaan terhadap kehendak bebas. Baginya, pembelaan kepada kehendak bebas adalah ide mengenai keadaan yang bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan. Jika seseorang adalah bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan tertentu, maka dia adalah bebas untuk melakukan tindakan itu dan bebas untuk tidak melakukannya. Pembelaan kehendak bebas itu dapat dirumuskan, sebagai berikut. Suatu dunia yang berisi ciptaan-ciptaan yang adalah bebas secara signifikan (dan secara bebas melakukan lebih banyak tindakan yang baikdari pada yang jahat) adalah lebih bernilai, sama halnya dengan semua yang lain, dari pada suatu dunia yang tidak berisi ciptaan-ciptaan yang bebas sama sekali.[9] Di sini mau diungkapkan bahwa Allah bisa menciptakan ciptaan yang bebas, tetapi tidak bisa menuntut atau menentukan mereka untuk hanya melakukan yang baik saja. Sebab, kalau Allah berbuat demikian ciptaan menjadi seperti boneka karena memang tidak bebas. Karena itu untuk bisa menciptakan ciptaan yang dapat melakukan kebaikan (moral), Allah harus menciptakan ciptaan yang berkemampuan untuk melakukan kejahatan moral. Walaupun argumen ini juga punya kelemahan, tetapi argumen ini mengungkapkan bahwa manusia dengan kehendak bebasnya lebih baik dari pada tanpa kehendak bebas.[10] Lantas bagaimana dengan penderitaan?
Leibniz mengungkapkan, dunia ini, yaitu dunia aktual, pasti merupakan yang terbaik dari semua dunia yang mungkin.[11] Karena, sebelum Allah menciptakan apapun, Ia berhadapan dengan berbagai pilihan; Ia bisa menciptakan atau mengaktualisasikan setiap dari puluhan ribu dunia yang mungkin. Dia adalah baik secara sempurna, Dia sanggup menciptakan setiap dunia yang Ia kehendaki; oleh karena itu dunia ini, yang benar-benar diciptakan, pastilah yang paling baik dan mungkin ada. Di sini tidak berarti bahwa Allah tidak berkuasa jika tidak menciptakan dunia yang menutup terjadinya kejahatan dan keburukan. Yang mau ditekankan ialah konsistensi Allah, bahwa ia tidak mungkin menciptakan sesuatu yang bertentangan dengan diriNya.
Pertanyaannya ialah apakah Allah tidak bisa mencegah kemungkinan untuk menderita? Apakah Allah harus terus menerus campur tangan setiap kali ada penderitaan? Tentu saja tidak. Apabila Allah memang mau menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia secara bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan campur tangan untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya, tetapi Allah tidak mencegah karena ia konsisten untuk menciptakan manusia seperti itu.
4. Tanggapan Kritis
Penolakan Allah atas nama penderitaan sebenarnya tidak menolak klaim eksistensi, keberadaan Allah. Keberadaan Allah tidak ditolak, penolakan lebih pada atribut Allah sebagai yang mahakuasa dan mahabaik. Sehingga pertanyaan yang diajukan adalah “Di manakah Allah?” bukan apakah Allah sungguh ada. Sehingga perlu dibedakan antara pecaya kepada Allah (beriman) dan percaya bahwa Allah itu ada. Percaya bahwa Allah itu ada atau tidak adalah posisi yang diambil untuk menegaskan sesuatu seperti dalam masalah penderitaan misalnya. Masalah penolakan Allah atas dasar penderitaan manusia (Buchner, atau juga Nietzsche dan Sartre) mau menegaskan bahwa manusia bukan boneka, manusia adalah pribadi yang bernilai pada dirinya. Sementara percaya kepada Allah adalah posisi yang berbeda. Maksudnya orang percaya kepada Allah menerima bahwa percaya kepada Allah sebagai suatu posisi yang benar dan dengan demikian mengakui Allah. Sehingga bagaimana menyikapi penderitaan juga adalah posisi yang diambil seseorang. Karl Jasper misalnya melihat penderitaan sebagai suatu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang. Kalau manusia punya keberanian dan ketebahan hati menerima dan menanggung penderitaan, maka ia akan tumbuh melalauinya.[12] Sehingga protes kepada Allah seperti Ayub dalam kitab suci juga adalah sesuatu yang mungkin dan masuk akal.
Penolakan Allah membawa juga bisa membawa manusia pada posisi allah. Hal ini membawa manusia pada antropodisea (antrophos: manusia, dike: keadilan). Ateisme Buchner misalnya mau menempatkan manusia pada posisinya yakni memperoleh hidup yang lebih layak. Namun, manusia dalam ateisme Nietzsche tidak bisa dikategorikan sebagai pengganti posisi Allah sebab, jika demikian manusia itu juga harus dibunuh. Ketika Allah mati dunia menjadi tanpa nilai. Penolakan Allah atas nama penderitaan dan kejahatan tetap bagi saya pada dasarnya tidak menolak klaim keberadaan Allah, tetapi lebih pada pengalaman mengalami Allah dan yang digambarkan tokoh-tokoh tertentu. Penggambaran yang keliru tentu juga akan memandang secara keliru. Namun, sebagai posisi kritis hemat saya pemikiran ateistik teodisea berguna dalam membangun pemahaman Allah yang otentik.
[1] Hanya untuk konsisten pemakaian kata, beberapa kutipan yang saya kutip saya terpaksa mengganti kata Tuhan dengan Allah supaya tidak membingungkan.
[2] Bdk.Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 166
[3] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 216
[4] Bdk. opcit, Wiester, Andrea, hlm, 167.
[5] Teodisea tidak muncul dalam semua agama. Dalam pandangan dualistik penderitaan dijelaskan dengan prinsip asali yang negatif. Dalam panteisme, misalnya penderitaan individual seakan-akan tenggelam dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinus. Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 222
[6] Kutipan dan pembahan mengenai topik ini banyak diambil dari Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero, hlm. 164-169
[7] Bdk. Sindhunata, Kritik Humanisme-Ateis, dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000, hlm. 3
[8] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 223
[9] Bdk. Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum, hlm. 44
[10] Keberatan itu misalanya, adalah mungkin dunia ini berisi manusia yang bebas yang selalu melakukan yang baik. tetapi Allah adalah maha kuasa, kuasa-Nya tidak memiliki batasan nonlogis. Jadi, dapat diandaikan juga suatau dunia di mana ciptaan bebas malakukan yang salah, tetapi pada kenyataannya tidak melakukan yang salah. Maka pembela kehendak bebas keliru dalam penekanan bahwa Allah adalah mahakuasa tetapi tidak sanggup menciptakan suatu dunia yang berisi kebaikan moral tanpa mengizinkan kejahatan moral. Bdk. ibid, hlm. 48
[11] Bdk. ibid, hlm. 49
[12] Bdk. Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius, hlm. 123
Daftar Pustaka
Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero.
Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum.
Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius.
Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius.
Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press hlm. 166-181
Bahan Bacaan lain:
F. Nietzsche, Si Pembunuh Tuhan dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000.
Kita Para Pembunuh Tuhan dalam Jurnal Filsafat Driyarkata, Agustus 2000, Tahun XXVII No. 1
Secara sederhana masalahnya dapat dirumuskan dengan pertanyaan: apa sebabnya Allah mengizinkan terjadinya kejahatan dan penderitaan di dunia? Masalah ini pertama kali disebut masalah teodisea oleh G.W. Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti pembenaran Allah. yang dimaksud ialah bahwa adanya kejahatan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik, sehingga seakan-akan perlu dibenarkan.[3]
Argumen penolakan atas nama penderitaan dan kejahatan pada dasarnya tidak melawan klaim eksistensi Allah, tetapi melawan konsep Allah sebagai yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik. Argumentasi ini berpusat pada inkonsistensi antara klaim Allah yang demikian dengan kenyataan bahwa ada banyak kejahatan dan penderitaan di dunia. Bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa dan maha baik mengizinkan terjadinya kejahatan di dunia ini. pada prinsipnya terdapat dua argumen yang dapat dipakai untuk mendekati persoalan ini. Pertama, argumen logis (a priori atau argument deduktif) menegasakan bahwa theisme tidak konsisten dalam logika sebab menerima kodrat Allah sekaligus mengakui keberadaan kejahatan. Kedua, berdasarkan kenyataan/ evidential (aposteriori atau argumen induktif), secara berlawanan melihat kepada jenis dan tingkatan penderiataan untuk melihat ukuran dan cakupan untuk melihat keberadaan kejahatan yang bertentangan dengan Allah.[4]
Argumen teodisea dapat dibagi dalam dua bagian yang mewakili tujuan alamat kejahatan; natural dan moral. Kejahatan alamiah bertujuan menyediakan alasan gejala alam yang menciptakan penderitaan, sementara moral memfokuskan diri pada kejahatan sebagai hasil dari perwujudan kehendak bebas. Untuk mempersempit pokok pembicaraan, tulisan ini mencoba mendekati ateisme dari perspektif penderitaan. Perlu dicatat bahwa masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri.[5]
1. Penderitaan adalah Wadas Ateime[6]
Mengapa aku menderita? Penderitaan adalah wadas bagi ateisme.
Denyutan sakit terhalus sekalipun, kendati itupun ada dalam satu atom,
menimbulkan sebuah retakan dari atas ke bawah. (G. Buchner)
Georg Buchner (1813-1837), yang saya kutip di atas, menyuarakan dengan tegas bahwa penderitaan adalah wadas bagi ateime. Dalam dramanya Dantons Tod (Kematian Danton: 1835), lewat mulut Danton mengatakan:
Lelaki di atas salib itu mengambik jalan yang aman; memang harus ada kekesalan. Tetapi celakalah orang, melaluinya kekesalan itu menimpa kita. Harus ya, keharusan itu lagi... Siapa yang mengatakan keharusan ini? Siapa? Apakah itu, yang menipu, yang melacur, menipu dan membunuh dalam diri kita? Kita adalah boneka-boneka, yang ditarik pada kawat oleh kekuatan-kekuatan yang tidak kita kenal; bukan kita sendiri! Pedang-pedang, dengannya roh-roh halus berperang, masih tetap ada, hanya kita tidak dapat melihat tangan, seperti dalam dongeng.
Yang sedang dikatakan Buchner ialah kenyataan keburukan, penderitaan yang tidak semuanya dapat dikembalikan kepada manusia, karena manusia pada dasarnya hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan. Karena manusia boneka, maka manusia tidak bisa dinilai secara moral. Manusia tidak bisa berbuat sesuatu untuk melawan pengaturan terhadap dirinya. Buchner menyebutnya sebagai kekuatan hukum alam, dan dengan itu dia menegaskan bahwa tidak ada Allah yang bisa diharapkan untuk mematahkan kekuatan hukum alam yang mengatur alam dan sejarah seperti ini. Kenyataan alam dan sejarah tidak memberi ruang untuk pembenaran bagi sebuah iman akan Allah. penderitaan di dalam dunia adalah wadah bagi ateisme.
Buchner mau menunjukkan bahwa manusia juga berhak atas hidup yang lebih baik. Hak seperti ini mestinya diberikan dan dijamin oleh sebuah instansi yang melampaui yang duniawi. Dengan cara berpikir demikian, maka Buchner punya alasan untuk menolak Allah dan menjadikan kenyataan penderitaan sebagai dasar memberontak. Bucher memang tidak menggaki lebih jauh penderitaan yang mesti menjadi wadas ateismenya.
2. Melihat Ateisme Nitzsche dan Sartre dalam Terang Teodisea
Keburukan dan penderitaan yang selalu dihadapi membuat manusia pesimis terhadap pembicaraan tentang kebaikan. Penderitaan adalah masalah yang sungguh menantang iman. Persoalannya ialah mengapa Allah dapat mengizinkan penderitaan. Penderitaan menimpa siapa saja termasuk orang yang mengku diri beriman kepada Allah yang mahakuasa dan mahabaik. Catatan bahwa, masalah teodisea hanya dapat muncul apabila Allah dipahami secara personal dan dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada diri sendiri, perlu diperhatikan sebelumnya untuk membahas melihat ateisme Nietzsche dan Sartre.
Ada dua hal yang dapat dilihat: Allah dialami dalam hidup dan manusia berharga pada dirinya. Manusia berharga pada dirinya hanya jika manusia dilihat secara utuh: sebagai makhluk yang berkehendak bebas, makhluk berakal yang juga memiliki perasaan. Sementara Allah dengan segala atributnya dihayati dalam pengalaman kehidupan sebagai yang diyakini.
Dari sudut ini, kita dapat melihat ateisme Nietzsche dan Sartre. Nietzsche misalnya melihat Allah bukan sebagai penyempurna manusia tetapi sebgai penghalang bagi kesempurnaan manusia. Allah bukan pembebas tetapi pemberi sanksi bagi manusia, sehingga manusia hanya melulu takut bersalah terhadap-Nya. Dalam Allah yang macam itu manusia menjadi terasing dan terlempar dari dirinya sendiri. karenanya, Allah macam itu harus ditiadakan, dibunuh.[7] Sejalan dengan Nietzsche, Sartre melihat Allah sebagai tempat pelimpahan tanggung jawab manusia, sehingga ia tidak bisa menentukan diri sendiri (eksistensialisme). Dengan tidak bertanggungjawab manusia tidak pernah menjadi diri sendiri. Karena manusia dapat dirinya sendiri apabila ia bebas. Tetapi jika ada Allah, manusia tidak bebas, maka Allah perlu ditiadakan.
Penolakan Allah dalam ateisme Nietzsche mau mengariskan bahwa manusia berharga dan tidak bisa ditentukan dan dihalangi oleh otoritas dari luar (baca: Allah). Sementara Sartre menjunjung tinggi kebebasan manusia, manusia harus menentukan dirinya, Allah penghalang kebebasan manusia. Keduanya sama mau menempatkan manusia pada posisinya, sebagai pribadi yang utuh dan otonom. Maka Allah tidak bisa bertindak semena-mena.
3. Filsafat Mencoba Menjawab Teodisea
Magnis Suseno dalam Menalar Tuhan memberikan enam alternatif jawaban dalam filsafat. Namun argumen-argumen filsafat disetai keterangan bahwa filsafat sendiri belum dapat menjawab persoalan mengapa Allah membiarkan penderitaan. Saya memilih satu dari enam penjelasan yang ditawarkan karena pertimbangan alasan itu dapat dipertanggungjawabkan. Argumen itu berbunyi: dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya.[8] Argumen ini sekaligus mungkin menjawab Buchner yang mengingkari Allah karena kenyataan penderitaan manusia.
Pendapat bahwa, dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya adalah lebih baik dari pada yang tidak ada penderitaannya, sangat dekat dengan pembelaan kehendak bebas mana kala berhadapam dengan kenyataan adanya kejahatan ada di dunia ini. Alvin C. Plantinga dalam bukunya God, Freedom and Evil, mengungkapkan sebuah pembelaan terhadap kehendak bebas. Baginya, pembelaan kepada kehendak bebas adalah ide mengenai keadaan yang bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan. Jika seseorang adalah bebas dalam kaitannya dengan suatu tindakan tertentu, maka dia adalah bebas untuk melakukan tindakan itu dan bebas untuk tidak melakukannya. Pembelaan kehendak bebas itu dapat dirumuskan, sebagai berikut. Suatu dunia yang berisi ciptaan-ciptaan yang adalah bebas secara signifikan (dan secara bebas melakukan lebih banyak tindakan yang baikdari pada yang jahat) adalah lebih bernilai, sama halnya dengan semua yang lain, dari pada suatu dunia yang tidak berisi ciptaan-ciptaan yang bebas sama sekali.[9] Di sini mau diungkapkan bahwa Allah bisa menciptakan ciptaan yang bebas, tetapi tidak bisa menuntut atau menentukan mereka untuk hanya melakukan yang baik saja. Sebab, kalau Allah berbuat demikian ciptaan menjadi seperti boneka karena memang tidak bebas. Karena itu untuk bisa menciptakan ciptaan yang dapat melakukan kebaikan (moral), Allah harus menciptakan ciptaan yang berkemampuan untuk melakukan kejahatan moral. Walaupun argumen ini juga punya kelemahan, tetapi argumen ini mengungkapkan bahwa manusia dengan kehendak bebasnya lebih baik dari pada tanpa kehendak bebas.[10] Lantas bagaimana dengan penderitaan?
Leibniz mengungkapkan, dunia ini, yaitu dunia aktual, pasti merupakan yang terbaik dari semua dunia yang mungkin.[11] Karena, sebelum Allah menciptakan apapun, Ia berhadapan dengan berbagai pilihan; Ia bisa menciptakan atau mengaktualisasikan setiap dari puluhan ribu dunia yang mungkin. Dia adalah baik secara sempurna, Dia sanggup menciptakan setiap dunia yang Ia kehendaki; oleh karena itu dunia ini, yang benar-benar diciptakan, pastilah yang paling baik dan mungkin ada. Di sini tidak berarti bahwa Allah tidak berkuasa jika tidak menciptakan dunia yang menutup terjadinya kejahatan dan keburukan. Yang mau ditekankan ialah konsistensi Allah, bahwa ia tidak mungkin menciptakan sesuatu yang bertentangan dengan diriNya.
Pertanyaannya ialah apakah Allah tidak bisa mencegah kemungkinan untuk menderita? Apakah Allah harus terus menerus campur tangan setiap kali ada penderitaan? Tentu saja tidak. Apabila Allah memang mau menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia secara bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan campur tangan untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya, tetapi Allah tidak mencegah karena ia konsisten untuk menciptakan manusia seperti itu.
4. Tanggapan Kritis
Penolakan Allah atas nama penderitaan sebenarnya tidak menolak klaim eksistensi, keberadaan Allah. Keberadaan Allah tidak ditolak, penolakan lebih pada atribut Allah sebagai yang mahakuasa dan mahabaik. Sehingga pertanyaan yang diajukan adalah “Di manakah Allah?” bukan apakah Allah sungguh ada. Sehingga perlu dibedakan antara pecaya kepada Allah (beriman) dan percaya bahwa Allah itu ada. Percaya bahwa Allah itu ada atau tidak adalah posisi yang diambil untuk menegaskan sesuatu seperti dalam masalah penderitaan misalnya. Masalah penolakan Allah atas dasar penderitaan manusia (Buchner, atau juga Nietzsche dan Sartre) mau menegaskan bahwa manusia bukan boneka, manusia adalah pribadi yang bernilai pada dirinya. Sementara percaya kepada Allah adalah posisi yang berbeda. Maksudnya orang percaya kepada Allah menerima bahwa percaya kepada Allah sebagai suatu posisi yang benar dan dengan demikian mengakui Allah. Sehingga bagaimana menyikapi penderitaan juga adalah posisi yang diambil seseorang. Karl Jasper misalnya melihat penderitaan sebagai suatu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang. Kalau manusia punya keberanian dan ketebahan hati menerima dan menanggung penderitaan, maka ia akan tumbuh melalauinya.[12] Sehingga protes kepada Allah seperti Ayub dalam kitab suci juga adalah sesuatu yang mungkin dan masuk akal.
Penolakan Allah membawa juga bisa membawa manusia pada posisi allah. Hal ini membawa manusia pada antropodisea (antrophos: manusia, dike: keadilan). Ateisme Buchner misalnya mau menempatkan manusia pada posisinya yakni memperoleh hidup yang lebih layak. Namun, manusia dalam ateisme Nietzsche tidak bisa dikategorikan sebagai pengganti posisi Allah sebab, jika demikian manusia itu juga harus dibunuh. Ketika Allah mati dunia menjadi tanpa nilai. Penolakan Allah atas nama penderitaan dan kejahatan tetap bagi saya pada dasarnya tidak menolak klaim keberadaan Allah, tetapi lebih pada pengalaman mengalami Allah dan yang digambarkan tokoh-tokoh tertentu. Penggambaran yang keliru tentu juga akan memandang secara keliru. Namun, sebagai posisi kritis hemat saya pemikiran ateistik teodisea berguna dalam membangun pemahaman Allah yang otentik.
[1] Hanya untuk konsisten pemakaian kata, beberapa kutipan yang saya kutip saya terpaksa mengganti kata Tuhan dengan Allah supaya tidak membingungkan.
[2] Bdk.Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 166
[3] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 216
[4] Bdk. opcit, Wiester, Andrea, hlm, 167.
[5] Teodisea tidak muncul dalam semua agama. Dalam pandangan dualistik penderitaan dijelaskan dengan prinsip asali yang negatif. Dalam panteisme, misalnya penderitaan individual seakan-akan tenggelam dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinus. Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 222
[6] Kutipan dan pembahan mengenai topik ini banyak diambil dari Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero, hlm. 164-169
[7] Bdk. Sindhunata, Kritik Humanisme-Ateis, dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000, hlm. 3
[8] Bdk. Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius, hlm, 223
[9] Bdk. Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum, hlm. 44
[10] Keberatan itu misalanya, adalah mungkin dunia ini berisi manusia yang bebas yang selalu melakukan yang baik. tetapi Allah adalah maha kuasa, kuasa-Nya tidak memiliki batasan nonlogis. Jadi, dapat diandaikan juga suatau dunia di mana ciptaan bebas malakukan yang salah, tetapi pada kenyataannya tidak melakukan yang salah. Maka pembela kehendak bebas keliru dalam penekanan bahwa Allah adalah mahakuasa tetapi tidak sanggup menciptakan suatu dunia yang berisi kebaikan moral tanpa mengizinkan kejahatan moral. Bdk. ibid, hlm. 48
[11] Bdk. ibid, hlm. 49
[12] Bdk. Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius, hlm. 123
Daftar Pustaka
Kleden, Paul Budi SVD 2006, Membongkar Derita, Maumere: Ledelero.
Plantinga, Alvin C. 2003 (Irwan Tjulianto, perterj), God, Freedom And Evil (terj.), Surabaya: Momentum.
Suseno, Franz Magnis 2006, Menalar Tuhan, Yokyakarta: Kanisius.
Tjahjadi, Simon Petrus L 2007, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; Dari Descartes sampai Whitehead, Yokyakarta: Kanisius.
Wiester, Andrea M, The Argument of Evil dalam Martin, Michael (edt.) 2007, The Cambridge Companion to Atheism, Cambridge: Cambridge University Press hlm. 166-181
Bahan Bacaan lain:
F. Nietzsche, Si Pembunuh Tuhan dalam Basis; Nomor 11-12, Tahun ke 49, November-Desember 2000.
Kita Para Pembunuh Tuhan dalam Jurnal Filsafat Driyarkata, Agustus 2000, Tahun XXVII No. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar