Pengantar: Hegel, Feuerbach dan Marx
Gagasan Marx tentang manusia sangat dipengaruhi oleh Hegel dan Feuebach. Ide keterasingan manusia (alienasi) pertama kali dikemukakan oleh Hegel, yang lantas ditanggapi oleh Feuerbach dan kemudian oleh Marx. Bagi Hegel alienasi manusia dalam agama. Hubungan antara Allah dan manusia berupa relasi tuan dan budak. Allah adalah tuan, sedangkan manusia adalah budak yang melaksanakan perintah-Nya. Hubungan macam ini adalah sebuah alienasi.[1] Untuk itu, bagi Hegel, manusia untuk menjadi diri sendiri, manusia harus menjadid objek bagi dirinya sendiri. Jadi ia harus mengobjektifkan diri dengan memproyeksikan diri keluar dari dirinya sendiri supaya dapat menghadap dan melihat hakikatnya. Feuerbach kemudian mengkritik padangan Hegel ini dengan mengatakan bahwa manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia. Agama sekaligus menjadi tanda keterasingan manusia dari dirinya sendiri, karena ia memproyeksi dirinya dalam Allah. Marx yang kemudia bertanya lebih jauh: “mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama?” Feuerbach sendiri sebenanya sudah menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa penderitaan manusia adalah tempat kehadiran Allah.
Sayangnya ia tidak mengembangkan gagasan ini. Marx kemudian yang mengembangkan gagasan ini dengan mengatakan bahwa keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam yakni dari dirinya sendiri dan masyarakat. Maka Marx kemudian mengatakan bahwa kritik agama harus menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja percuma karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Bukan agama yang harus dikritik, melainkan masyarakat.[2] Di sini kita melihat Marx menemukan ktitiknya yang sebenarnya, masyarakat.
Sayangnya ia tidak mengembangkan gagasan ini. Marx kemudian yang mengembangkan gagasan ini dengan mengatakan bahwa keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam yakni dari dirinya sendiri dan masyarakat. Maka Marx kemudian mengatakan bahwa kritik agama harus menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja percuma karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Bukan agama yang harus dikritik, melainkan masyarakat.[2] Di sini kita melihat Marx menemukan ktitiknya yang sebenarnya, masyarakat.
Kritik masyarakat Marx berangakat dari gagasan Feuerbach (dan juga Hegel) tentang alienasi. Oleh karena itu memahami gagasan Marx tentang manusia dan alienasi adalah sesuatu yang sentral. Tulisan ini akan mencoba mengangkat gagasan manusia dan alienasinya dalam pekerjaan. Gagasan tentang alieansi manusia dalam pekerjaan, dapat ditemukan dalam tulisan Marx muda Economic and Philosophycal Manuscripts.[3]
Manusia dan Aktualisasi Diri
Marx pada dasarnya setuju dengan kritik agama Feuerbach bahwa manusia mengasingkan diri dalam agama. Kelemahan yang dilihat Marx dalam gagasan Feuerbach adalah bahwa ia memahami manusia masih secara abstrak. Sehingga bagi Marx persoalan alienasi itu bisa dijawab kalau memahami manusia secara kongkret dalam masyarakat dan zaman tertentu. Sehingga bisa dikatakan bahwa kondisi masyarakatlah yang membuat manusia mengalienasi dirinya dalam agama.
Marx juga setuju dengan Hegel yang mengatkan bahwa manusia mengaktualisasikan dirinya dalam kerja. Bagi Marx melalui kerja, manusia mewujudkan dirinya dan mengenal dirinya. Lewat kerja manusia menyatakan dirinya, menyatakan kebebasannya dalam relasi dengan alam.[4] Marx sedang menunjuk pada perbedaan antara binatang dan manusia: “Binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya…..manusia membuat kegiatan hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya…. Memang, binatang juga berproduksi. Ia membangun sarang…. Tetapi binatang hanya memproduksikan apa yang dibutuhkan langsung bagi dirinya atau keturunannya, sedangkan manusia berproduksi secara universal….., bebas dari kebutuhan fisik….. Manusia berhadapan bebas dengan produknya….. manusia berproduksi menurut keindahan”.[5] Marx mau menegaskan perbedaan manusia dan binatang di mana manusia bekerja secara bebas dan universal, sementara binatang bekerja menurut naluri dan kebutuhannya.
Lebih lanjut makna pekerjaan juga terkait dengan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak mungkin menghasilkan sendiri semua kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia membutuhkan hasil pekerjaan orang lain, begitu pula sebaliknya. Di sini sekaligus kelihatan dimensi historis pekerjaan karena kita hidp di dunia yang merupakan hasil kerja generasi manusia sebelumnya.
Alienasi Manusia
Kalau pekerjaan adalah bentuk aktualisasi diri manusia seharusnya, pekerjaan itu menyenangkan, menggembirakan. Namun kenyataan sebaliknya. Khususnya bagi buruh industri kapitalis, pekerjaan tidak merealisasikan hakekat manusia tetapi justru mengasingkannya.
Dalam Economic and Philosophycal Manuscripts, Marx menulis
We start with a contemporary fact of political economi:[6]
Dengan pernyataan ini, Marx mau menegaskan bahwa ia bergerak dari fakta empiris. Analisinya berdasarkan situasi faktual. Lebih lanjut dalam paragraph yang sama ia menulis:
Pekerja menjadi semakin miskin yang lebih kaya adalah produksinya. Yang lebih meningkat dalam kekuatan dan cakupan. Perkerja menjadi suatu komoditi yang adalah semuanya lebih miskin dari komoditi yang dia ciptakan. Penyusutan kemajuan dunia manusia…peningkatan dalam nilai hal-hal dunia. Pekerja tidak hanya memproduksi komoditi-komoditi; ia memproduksi dirinya sendiri dan pekerja menjadi komoditi..
Ada dua hal menarik dari kutipan ini yakni: kondisi produksi dan kekuatan produksi. Dua hal ini saling mempengaruhi. Dengan menghadirkan kondisi produksi Marx mengalanisis dengan cermat hasil kerja buruh. Hasil kerja buruh adalah bentuk perealisasian dirinya, menyadari dirinya ( istilah yang dipakai Hegel juga). Dalam kenyataan Marx menulis dalam kutipan di atas pekerja bukan hanya memproduksi komoditi tetapi juga dirinya sendiri (pekerja) adalah komoditi. Dengan nada serupa Marx mengatkan What the product of his labour is, that he is not. So the greater this product the less he is himself.[7]
Marx kemudian dengan jelas menunjuk bahwa setan yang melekat dalam material basis itu adalah pembagian kerja. Pembagian kerja mencuri kesempatan pekerja untuk menyadari dan mengalami dirinya sebagai manusia karena pekerja harus meninggalakan kesempatan untuk mengungkapkan dirinya dalam kebebasan. Itulah yang disebut keterasingan diri pekerja.
Bagi Marx keterasingan dari dirinya (pekerja) sendiri mencakup tiga segi. Pertama, terasing dari produknya, kedua, terasing dari tindakan produksi, ketiga, keterasingan karena memperalat dirinya. Keterasingan dari produknya terjadi karena pekerja tidak memiliki hasil pekerjaannya. Hasil pekerjaannya adalah milik pabrik. Sehingga tindakan kerja itu sendiri menjadi kehilangan arti bagi diri pekerja itu sendiri, karena ia bekerja dengan terpakasa. Di sini letak keterasingan dari apa yang ia hasilkan itu sendiri atau keterasingan dari tindakan produksi. Pekerja juga bekerja bukan untuk kebutuhanya tetapi semata-mata untuk nafkah, untuk mempertahankan hidup. Dengan ini ia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya tetapi sebaliknya menjadikan dirinya alat.
Konsekuensi langsung dari ketiga keterasingan di atas adalah keterasingan kepada orang lain. Secara empiris keterasingan dari sesama menyatakan dua kepentingan yang bertentangan. Pertama, dalam system hak milik pribadi di mana mereka yang bekerja berada di bawah kekuasaan para pemilik yang tidak bekerja, masyarakat terpecah dalam kelas-kelas para pemilik. Dua kelas ini secara emperis bertentangan karena kepentingan mereka secara objektif saling bertentangan. Si pemilik mengusahakan keuntungan yang setinggi-tingginya sementara para pekerja menginginkan upah setinggi-tingginya.
Kepentingan dalam kelas masing-masing seperti di atas merusak hubungan di dalam masing-masing kelas. Buruh berebut kesempatan kerja sementara pemilik mmodal berebut pasar. Marx memperlihatkan bahwa dalam masyarakat yang berdasarkan hak milik pribadi: hubungan antar manusia besifat saingan: keuntungan yang merupakan kerugian yang lain.[8]
Setelah melihat keterasingan pekerja, muncul pertanyaan bagaimana situasi keterasingan itu bisa diakhiri, supaya manusia kembali menjadi tidak terasing. Keterasingan manusia dalam pekerjaan disebabkan oleh manusia, khususnya buruh, bekerja demi upah bukan demi pekerjaan itu sendiri sebagai sarana pengembangan diri, ia bekerja karena terpaksa. Supaya dapat hidup ia harus bekerja karena ia membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhannya. Demi upah buruh memperalat dirinya, dan mengkianati hakikat dirinya sehingga ia menajdi terasing dari dirinya. Dalam system macam ini, kesempatan kerja sangat tergantung pada majikann sehingga para pekerja perlu mengkontrakan diri kepada majikan. Sehingga majikan dapat hidup dari penghisapan tenaga buruh sementara buruh harus memperalat diri dan menajadi hamba majikan.
Di sini nampak bahwa majikan dan buruh sebenanya sama-sama terasing dari pekerjaan. Buruh seperti yang sudah kita leihat terasing karena tidak bisa mengembangkan kerja itu sebagai media pengembangan diri. Sementara itu majikan juga terasing dari pekerjaan karena ia juga tidak bekerja tetapi pasif menikmati hasil kerja orang lain. Dengan demikian disimpulkan bahwa hak milik pribadi mengasingkan majikan maupun pekerja dari dirinya sendiri. Sehingga penataan hak milik pribadi menjadi sangat vital di sini.
Bagi Marx, hak milik pribadi bukan suatu kebetulan tetapi hasil sebuah proses yang tak terelakan, proses pembagian kerja. Pembagian kerja perlu untuk meningkatkan efisiensi kelompok dalam melindungi diri dan menjamin kebutuhan-kebutuhannya. Dahulu kala orang hidup dalam kelompok-kelompok tetapi segera mereka menyadari bahwa pembagian kerja membuat pekerjaann itu menjadi lebih efisien. Dengan pembagian kerja dan lantas pemisahan antara kerja yang rohani dan jasmani, terjadi perisahan umat manusia dalam kelas-kelas pekerja yang hidup dari pekerjaan jasmani orang lain.
Maka Marx membedakan tiga tahap umat manusia. Pertama, masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai, kedua-tahap yang sedang berlangsung-tahap pembagian kerja sekaligus tahap hak milik pribadi dan tahap keterasingan. Dan tahap ketiga, tahap kebebasan, yaitu apabila hak milik pribadi sudah dihapus. Jadi system pembagian kerja bukan sebuah kegagalan tetapi sebuah tahap yang tak terelakan menuju ke tahap berikutnya atau sebagai persiapan perjalanan umat menusia menuju tahap kebebasan, sehingga tahap itu harus dilalui umat manusia.
Dapat dikatakan bahwa hak milik pribadi tidak dapat dihapus karena semata-mata dianggap menghasilkan keterasingan. Hak milik pribadi adalah akibat keniscayaan sejarah dan hanya bisa dihapus sebagai konsekuensi dinamika keniscayaan sejarah selanjutnya. System hak milik pribadi berdasarkan syarat-syarat objektif dan oleh kareba itu baru bisa dihapus apabila kondisi-kondisi objektif itu sudah bisa terpenuhi. Apabila itu terjadi maka, prasejarah umat manusia akan berakhir dan manusia akhirnya akan mampu merealisasikan dirinya secara bebasa dan universal. Kekayaan yang telah diciptakan manusia dalam keterasingan akan menjadi hak milik seluruh umat manusia. Keterasiagan manusia dengan alam maupun dengan manusia lain akan berakhir. Keadaan macam ini yang oleh Marx disebut “komunisme”.
Komunisme adalah penghapusan positif milik pribadi sebagai keterasingan dari manusia (positif karena apa yang telah diciptakan dalam keterasingan tidak ditiadakan melainkan dimiliki bersama), dank arena itu pemilikan nyata hakikat manusia oleh dan bagi manusia. Komunisme itu adalah naturalism utuh, atau sebagai humanisme utuh.
Kesimpulan dan Tanggapan
Gagasan keterasingan manusia Marx tidak lepas dari Hegel dan Feuerbach. Marx sejalan dengan Hegel yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah bekerja. Dengan bekerja manusia mampu mengaktualisasikan dirinya. Namun ia juga menkritik filsafat Hegel yang baginya terlalu abstrak dan tidak mendarat di bumi sesuai dengan kenyataan. Lebih lanjut Marx juga dipengaruhi oleh Feuerbach yang mengatakan manusia teralienasi karena ia memproyeksikan dirinya dalam agama. Namun ia tidak menjawab pertanyaan mengapa manusia memproyeksikan diri dalam agama dan Marx menjawab hal itu.
Bagi Marx keterasingan itu terjadi karena situasi masyarakat. Maka bukan lagi agama yang harus dikritik tetapi masyarakat jika ingin mengubah dan berbuat sesuatu. Marx mencoba menggalinya dalam situasi faktual dan ia menemukan bahwa manusia sekarang berada dalam tahap keterasingan karena pembagian kerja. Oleh karena itu perlu menciptakan kembali situasi asali manusia (komunisme) sehingga melalui kerjanya ia dapat mengaktualisasikan dirinya secara bebas dan universal.
Saya ingin menanggapi dua hal dari gagasan pemikiran Marx. Pertama terkait dengan gagasan aktualsasi manusia lewat kerja dan kedua, lebih melihat perkembangan tindakan aktuasasi manusia dalam perwujudan gagasan Marx. Marx mengikuti Hegel mengatakan manusia mengaktualisasikan dirinya lewat kerja. Gagasan macam ini menyangkut dua hal pertama, tentu saja manusia lewat banyak cara dapat mengaktualsasikan diri misalnya lewat karya seni, musik, dan kegiatan lainnya. Tidak hanya kerja yang bisa menjadi sarana pengaktualisasian diri manusia. Kedua, bahwa kerja itu sendiri sejak awal mula memang merupakan tindakan manusia, tetapi tujuannya pertama-tama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan untuk mengaktualisasikan diri. Pada zaman berburu dan meramu, manusia bukankah harus berbburuh dan mencari hasil hutan untuk memenuhi kebutuhannya? Jadi kerja, hemat saya pertama-tama adalah pemenuhan kebutuhan hidup bukan pengaktualisasian diri. Pengaktualsisaian diri hanya munkin kalau kebutuhan badani manusia terpenuhi.
Menyangkut perkembangan gagasan manusia dalam usaha perwujudan gagasan Marx, hemat saya para pemikir Marx melupakan aspek ini: bahwa manusia mengaktualisasikan diri dalam kerja. Tujuan Marx mengkritik pembagian kerja tentu saja untuk menciptakan keadaan alamiah yang memungkinkan manusia mengaktualisasikan dirinya. Hemat saya para penerus gagasan Marx cendrung pincang dengan bergerak murni di tataran mengubah struktur masyarakat dan lupa untuk mengangkat kembali tujuan Marx mengkritik semua itu yakni pengaktualisasian diri. Kita temukan misalanya dalam sejarah Uni Soviet yang berusaha menerapkan ajaran Marx, tema aktualisasian diri tidak muncul lagi yang muncul adalah perjuangan kelas. Kalau jujur bagi saya aksi pemicu Marx mengkritisi ialah aktualisasian diri, akibat dari kritiknya itu laiah perubahan, revolusi. Namun gagasan penyebab: aktualisasi diri kemudian hilang dalam perjuangan mewujudkan masyarakat komunis Marx karena cendrung kapada kritik social kelas. Gagasan manusia menjadi redup.
Daftar Pustaka
Hardiman, Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia 2007,
Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia 2003
Mclellan, David (translated and edited), Karl Early Teks, Oxford, Basil Blackwell 1972
Van der Hoeven, Johan, Karl Marx: The Roots of His Thought,Van Gorcum, Assen/Amsterdam 1976
[1] Bdk. Hardiman, Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia 2007, hlm. 177
[2] Bdk. Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia 2003, hlm. 69-74
[3] Nahskah Economic and Philosophycal Manuscripts. Ditulis sekitar April-Agustus 1844. Penulis memakai edisi terjemahan yang ada di dalam buku Karl Early Teks (Translated and edited by David Mclellan, Oxford, Basil Blackwell 1972).
[4] Bdk. Hardiman, Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, hlm. 237-238
[5] Bdk. Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia, hlm. 90
[6] Karl Early Teks (Translated and edited by David Mclellan, Oxford, Basil Blackwell 1972) hlm. 134: The worker becomes all the poorer the more wealth he produces, the more his production increases in power and size. The worker becomes an ever cheaper commodity the more commodities he creates. The depreciation of the human world progress in direct proportion to increase in value of the world of things. Labor produces not only commodities; it produces itself and the worker as a commodity – and that to the extent to which it produces commodities in general.
[7] Bdk, Karl Early Teks (Translated and edited by David Mclellan, Oxford, Basil Blackwell 1972) hlm. 135
[8] Bdk. Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia, hlm. 95-98
[9] Ulasan ini saya mengikuti sepenuhnya dari tulisan Suseno, Frans Magnis, Karl Marx: Dari Sosialime Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakata: Gramedia, hlm. 100-104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar